Satu-satunya solusi adalah membeli rumah-rumah di belakang masjid. Ada eks wisma yang lokasinya sangat potensial untuk dibeli. Kalau berhasil dimiliki, area masjid bisa tembus ke gang lebar yang bisa dilewati dua mobil sekaligus. Pintu Dakwah JeHa juga akan lebih terbuka.
Nasih menunjuk rumah di sisi selatan. Garis atapnya sudah tidak lurus lagi. Bergelombang. Tampaknya, kayu penopang rumah itu sudah termakan usia. Kalau tidak segera diperbaiki bisa roboh.
Tentu nilai jual rumah itu bisa lebih murah jika rusak. JeHa tak butuh bangunannya. Semua akan dirobohkan seperti tiga wisma yang sudah dikuasai.
Meski begitu, rumah reyot itu sulit sekali dibebaskan. JeHa sudah berkomunikasi dengan pemiliknya. Mereka belum berniat melepasnya.
Ada juga rumah yang berdiri tepat di belakang masjid. Bangunannya sudah lebih kukuh. Dua lantai. Kalaupun dibeli, JeHa harus mengeluarkan uang lebih banyak.
Namun tidak ada yang tidak mungkin. JeHa sudah melewati banyak ujian yang bagi sebagian orang dianggap mustahil. Pesantren didirikan di atas kemustahilan. Banyak yang meragukan berdirinya JeHa di Jarak-Dolly. Mana mungkin ada pesantren yang berdiri di tengah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu. Yang oleh pemerintah daerahnya dibiarkan dan jadi ’’destinasi wisata’’. Dolly masih berada di ujung kejayaannya saat Jeha didirikan pada 2008.
Namun Kiai Nu’man dan pendiri JeHa lainnya tetap membulatkan niat. Perlahan tapi pasti pesantren berkembang. Santrinya sudah berkembang dari 30 orang menjadi 225.
Para pengurus JeHa bermimpi bisa membeli sebanyak mungkin gedung di sekitar Masjid. Mereka ingin menjadikan Jarak-Dolly terkenal sebagai bumi santri seperti Pesantren Gontor. Bukan terkenal karena pelacurannya.
Kerja Sama dengan Sekolah Bahrul Ulum, baca besok… (*)