Lalu ganti suntikan. Di perut. Sehari dua kali. Dengan suntikan Heparin. Kulit perut saya sampai hitam-hitam memar.
Berhasil. Turun. Sedikit. Lalu, tidak bisa turun lagi.
Dihentikan.
Saya tidak bertanya mengapa suntikan di perut itu dihentikan. Padahal, baru lima hari.
Diganti pil lagi: Xarelto.
Tidak berhasil.
Lalu, Covid saya pun negatif. Saya boleh meninggalkan RS. Apalagi, selama di RS saya juga tidak merasakan keluhan apa-apa. Seperti tidak terkena Covid sama sekali.
Saya pun meninggalkan RS dengan D-dimer tetap tinggi.
Di rumah, saya mencoba bermacam-macam jamu. Dari empon-empon Jawa.
Gagal.
Lalu, jamu Kalimantan.
Gagal.
Seorang teman dari Bima mengalami D-dimer tinggi. Ia minum obat yang membuat D-dimer-nya turun. Saya pun minum obat itu.
Tidak berhasil.
Ternyata teman tadi terlalu cepat memberi info ke saya. Dua hari pertama D-dimer-nya memang turun. Tapi, setelah itu ternyata naik lagi.
Tapi, obat teman itu terus saya minum. Saya sudah bertanya ke dokter: apa kandungan obat tersebut. Saya juga bertanya ke apoteker. Jawabannyi sama: kandungannya persis seperti Plavix.