Tapi kami tidak berani membawa beliau ke rumah sakit. Itu akan menghebohkan.
Terlalu sensitif untuk tokoh politik yang begitu sentral. Maka kami membawa beliau ke rumah seorang dokter.
Beres. Aman. Beliau segar kembali. Tidak ada satu wartawan pun yang mendengar.
Sampai sekarang.
Saya juga pernah ikut Safari Ramadan. Dari Bandung sampai Banyuwangi. Lewat jalur selatan. Dipilih jalur selatan karena dianggap wilayah itu kurang mendapat kemajuan –dibanding sisi utara Jawa.
Tiap hari jalan darat. Naik mobil. Siang. Malam. Dari satu kota ke kota berikutnya.
Tiap hari pukul 02.30 sudah bangun. Harus pergi ke pesantren. Makan sahur di situ.
Diteruskan dengan sambung rasa. Dengan warga pesantren.
Beliau memberi pidato di situ. Lalu salat Subuh bersama. Lantas jalan ke kota berikutnya. Sambung rasa lagi. Pidato lagi. Jalan lagi. Terus seperti itu. Dari satu acara ke acara berikutnya. Jalan terus. Pidato terus. Pun sampai habis tarawih.
Masih diteruskan rapat dengan pengurus Golkar setempat. Sampai jam 12.00 malam.
Beliau hanya tidur 2 jam. Kami bisa tidur lebih banyak –termasuk saat beliau berpidato. Mata beliau terlihat selalu merah. Selama hampir satu bulan Ramadan penuh.
Sukses. Golkar menang terbesar di Pemilu setelah itu.
Nama Harmoko pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon wakil presiden.
Waktu itu cita-cita tertinggi politikus adalah menjadi wakil presiden –karena presiden berikutnya pasti Pak Harto lagi.
Pak Harmoko habis-habisan mengambil hati Pak Harto. Mulai dari prestasi sampai pidato-pidatonya. Di tahun kejatuhan Pak Harto itu pun pak Harmoko-lah yang pertama melontarkan bahwa rakyat masih tetap menghendaki Pak Harto untuk terus menjabat presiden. "Saya sudah keliling seluruh pelosok Indonesia. Semua rakyat menghendaki Pak Harto lagi," begitu kurang lebih kata-kata Pak Harmoko ketika itu.
Ternyata Pak Harto lebih memilih Pak B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pak Harmoko ''dibuang'' ke jabatan ketua DPR/MPR.