Ternyata dia sudah di tempat kerja. Alhamdulillah. Berarti dia tidak stres.
"Hari Senin saya banyak sekali pekerjaan. Banyak tanggung jawab," katanyi. Alhamdulillah. "Saya pikir sepanjang Senin pagi ini Anda nongkrong di Bank Mandiri," gurau saya.
"Biar pun saya tidak nunggu di bank, kalau cair kan tahu juga," jawabnya serius.
Pagi kemarin, yang nongkrong di Bank Mandiri ternyata justru polisi. Sang petugas mengajak serta Heryanti. Senin pagi-pagi Heryanti sudah dijemput di rumahnyi untuk diajak ke Bank Mandiri. Polisi pun melakukan pengecekan di bank itu: apakah dana Rp 2 triliun dari Heryanti sudah ada.
"Tidak ada," jawab petugas bank.
Maka Heryanti langsung dibawa ke Polda Sumsel. Dinyatakan sebagai tersangka penipuan.
Tapi kenapa Heryanti masih bisa menelepon Si Cantik? Kok perlu-perlunya? Begitu yakinnya Heryanti.
Memang perkara ini secara hukum sebenarnya sederhana sekali. Tidak perlu pemeriksaan yang bertele-tele. Barang bukti juga sudah banyak. Mungkin Heryanti juga tidak perlu ditahan: dia tidak akan bisa menghilangkan barang bukti.
Tidak mungkin juga dia melarikan diri –di masa pandemi seperti ini. Yang perlu dijaga hanyalah: kalau-kalau dia bunuh diri.
Dua hari lalu saya dihubungi tokoh besar Tionghoa Jakarta. Ia minta saran: apa yang harus dilakukan oleh golongan Tionghoa, kalau-kalau sumbangan itu ternyata bodong.
Saya bilang: tidak usah melakukan reaksi yang berlebihan. Biasa-biasa saja. Bikin saja pernyataan: "menyesalkan kecerobohan yang dilakukan Heryanti sampai menimbulkan kehebohan nasional". Cukup. Soal seperti ini bisa menimpa siapa saja. Suku apa saja. Bangsa mana saja.
Toh kita sudah pernah heboh oleh harta karun Bung Karno. Juga harta karun Bogor.
Memang dengan Heryanti dinyatakan sebagai tersangka drama Rp 2 triliun itu mencapai ujungnya. Drama itu ternyata begitu cepat berakhir.
Ups…ternyata belum.
Status tersangka Heryanti diralat. Ada apa? Jangan-jangan Selasa hari ini cair –seperti sempat-sempatnya diinfokan Heryanti kepada Si Cantik dari kantor polisi? (*)