Di saat kritis seperti ini saya mendukung jumlah komisaris yang sedikit. Di masa sulit perusahaan harus lebih lincah. Juga harus cepat mengambil keputusan. Jangan juga terlalu banyak pendapat yang saling berseberangan. Perusahaan harus fokus.
Kini Dirut Irfan, 56 tahun, menjadi lebih ''berkuasa''. Tidak terlihat akan ada oposan di dalam Garuda. Irfan juga akan lebih terlihat apakah ia mampu mengeluarkan Garuda dari kesulitan besar.
Kurang apa lagi. Langkah lulusan informatika ITB ini didukung penuh. Posisinya diamankan. Komisaris yang bisa dianggap menghambat sudah tidak ada lagi.
Komisaris lama seperti Peter F. Gontha dan Yenny Wahid sudah mengundurkan diri. Dengan alasan masing-masing. Peter sudah menulis surat mundur sejak Februari lalu. Ia terlihat punya banyak perbedaan pandangan dengan direksi. Bahkan Peter, suatu kali, mem-posting pendapatnya di medsos –yang bikin belingsatan Garuda.
Yenny Wahid, putri Presiden Gus Dur itu, mengundurkan diri di hari yang sama dengan RUPS Jumat lalu. Tidak terbaca ada perbedaan pendapat apa. Secara formal Yenny memilih alasan agar Garuda lebih efisien.
Komisaris lama yang satu lagi juga tidak menjabat lagi: Elisa Lumbantoruan. Ia juga banyak tahu soal pedalaman Garuda. Elisa pernah menjadi direktur Garuda di zaman Emirsyah Satar.
Saya tidak pernah mendengar Elisa pernah menyuarakan apa. Saya tidak berhasil menghubungi Elisa kemarin sore.
Peter dan Yenny pernah bersuara soal perlunya diambil langkah efisiensi di jumlah dan kesejahteraan awak pesawat. Direksi Garuda dianggap terlalu lemah di saat harus bertindak tegas.
Peter kelihatannya memang terlalu banyak tahu soal Garuda. Terutama mengenai permainan Dirut Garuda zaman Emirsyah Satar. Sejak tahun 2008. Yakni sejak Emir punya program utama leap frog.
Peter kini semakin siap untuk membongkar total permainan di Garuda itu.
"Kapan?"
"Dalam waktu dekat," jawabnya.
"Lewat apa?"
“Lewat Disway-lah," katanya.
Peter bukan hanya berhenti dari komisaris Garuda. Tahun lalu, Peter juga mengundurkan diri dari jabatan staf khusus menteri luar negeri. Alasannya: tidak mau makan gaji tanpa pekerjaan yang jelas. Apalagi gaji itu dari uang negara.
Peter, mantan pendiri RCTI dan duta besar Indonesia untuk Polandia itu kini masih menjabat di banyak direksi dan komisaris perusahaan swasta.