Dengan Theranos, setetes darah dari ujung jari cukup. Semua penyakit sudah bisa diketahui. Waktunya pun cepat: hanya 15 menit. Sakit apa pun langsung ketahuan. Biaya tes itu juga begitu murahnya: tidak sampai Rp 25.000.
Bukan larisnya penjualan alat itu yang menyebabkan booming. Tapi kemampuan Elizabeth mengomunikasikannya. Dia segera berhasil menggaet investor. Mula-mula kelas ribuan dolar. Lalu jutaan dolar.
Media juga banyak terpana dengan teknologi Elizabeth itu –lalu tertipu. Lembaga paten Amerika pun terpana –juga sekaligus tertipu. Elizabeth memperoleh puluhan paten terkait dengan teknologi tes darah itu.
Pun nama-nama besar. Sampai-sampai mantan menteri luar negeri George Shultz mau masuk dewan direksinya. Kian banyak investor menyuntikkan dana ke Theranos.
Media-media bisnis mempahlawankannyi. Termasuk sekelas Forbes. Tapi media juga yang akhirnya membongkarnya: John Carreyrou, wartawan investasi The Wall Street Journal. Sang wartawan menulis kebohongan teknologi itu: hasil diagnosis alat itu tidak akurat.
Media pula yang membongkar adanya hubungan istimewa antara Elizabeth dengan Balwani. Yang semula tidak menarik perhatian siapa pun. Siapa menyangka mereka punya cinta. Begitu banyak perbedaan di banyak hal –terutama umur yang beda 19 tahun.
Tentu media tidak menyalahkan hubungan khusus itu. Yang disalahkan adalah mengapa tidak dibuka kepada investor. Itu dianggap menyalahi prinsip keterbukaan informasi kepada sumber dana publik.
Baru belakangan hubungan itu diresmikan: menjadi suami istri. Yakni ketika akhirnya Balwani resmi menjadi direktur operasi Theranos. Praktis Balwanilah yang sebenarnya menjalankan Theranos.
*
Puncak kejayaan Theranos antara 2009-2013. Hampir satu era dengan kejayaan Rudy Kurniawan.
Anak Jakarta itu sebenarnya ke Amerika untuk kuliah.
Visanya visa belajar. Kurniawan berangkat dari Jakarta tahun 1998 –bersamaan dengan banyak orang Tionghoa meninggalkan Indonesia. Tahun itu memang tahun menakutkan bagi warga Tionghoa Indonesia –yang dikenal dengan kerusuhan Mei 1998.
Kurniawan kuliah di California State University Northridge, dekat Los Angeles.
Ketika visanya habis, Kurniawan berusaha menjadi warga negara Amerika. Ia memilih cara minta suaka politik –seperti yang sangat banyak dilakukan warga Tionghoa Indonesia di Amerika saat itu. Kerusuhan rasial Mei 1998 menjadi alasannya.
Kurniawan tidak berhasil. Permohonan suaka politik itu ditolak.
Pengadilan bahkan memutuskan agar Kurniawan mendeportasikan diri secara sukarela –agar tidak terkena hukum di sana. Ia diberi batas waktu: harus kembali ke Indonesia paling lambat akhir 2003.