BEBERAPA hari ini Sumber Brantas jadi bahan pembicaraan banyak orang. Sumber Brantas adalah nama sebuah desa di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
Dinamakan demikian karena di desa ini terdapat sebuah mata air atau sumber air, yang kecil saja. Berupa sebuah sumur atau kolam kecil yang airnya tak pernah berhenti keluar dan mengalir. Tetapi dari sumber yang kecil inilah kemudian menjadi sungai besar, Sungai Brantas.
Sungai Brantas, atau Kali Brantas, adalah sungai terbesar di Jawa Timur, dengan panjang 320 kilometer, melewati hampir separuh daerah di Jawa Timur.
Tercatat Sungai Brantas melewati dan mengairi 15 wilayah kabupaten/kota, yaitu Malang Raya, Blitar, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto dan Sidoarjo.
Di Mojokerto, Kali Brantas pecah menjadi dua yaitu yang ke timur bermuara di Porong, Sidoarjo. Sedang cabang yang belok ke kiri arah utara menjadi Kali Surabaya, bermuara di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut.
Sebelum sampai ke muara, di Wonokromo, Kali Surabaya bercabang dan belok ke utara masuk ke kota menjadi Kalimas, muaranya berada di kawasan pelabuhan Tanjung Perak.
Sumber Brantas dan sungai alirannya, adalah saksi sejarah sejak berabad-abad lalu, sejak sebelum zaman Kerajaan Kanjuruhan, Kahuripan, Kadiri, Singosari sampai zaman Majapahit. Sumber brantas adalah warisan peradaban masa lalu, yang masih ada hingga sekarang.
Saya yakin, pasti orang-orang yang menjaga kelestarian Sumber Brantas ini adalah orang-orang hebat. Mereka secara terus menerus, sejak zaman dahulu kala, secara estafet tentu saja, mengabdikan diri mereka menjaga dan merawat sumber kehidupan bagi sekian banyak orang ini, dari berabad lalu hingga kini.
Alhamdulillah, beberapa tahun lalu saya sempat bertemu dengan para penjaga dan perawat Sumber Brantas di masa sekarang. Bahkan, kami bukan cuma bertemu, tetapi juga duduk bareng, lesehan, berbincang-bincang dengan para sesepuh penjaga Sumber Brantas yang oleh warga sekitar disebut dengan Wali Sumber.
Kami duduk lesehan beralaskan tikar di atas tanah, di dekat titik Sumber Brantas.Udara sore yang sejuk menambah akrab perbincangan, sedang di atas gelaran tikar dihidangkan sajian apa adanya dan terasa lezat rasanya.
Sungguh saya merasa terhormat sekali bisa bercengkrama dengan para wali itu, mendengarkan cerita dan pengalaman mereka secara bergantian. Tentang apa saja, tetapi dengan satu topik yaitu Sumber Brantas.
Mereka bercerita tentang suka duka, manfaat, serta apa yang mereka sebut sebagai mukjizat karena sejak berabad-abad lalu, air sumber terus menerus ke luar dan mengalir memberi manfaat kepada manusia, hewan dan tanaman, tak pernah berhenti.
Saya lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengajarkan ilmu tua kepada saya, tentang tanah dan air, tentang langit dan bumi. Tak terasa waktu sekitar dua jam berlalu begitu saja. Obrolan akan sulit diakhiri, kalau saja angin dingin tidak berhembus bertubi-tubi.
Saya sepakat dan akhirnya memahami, mengapa warga setempat menyebut kelima orang itu sebagai Wali Sumber. Saya, atau siapa pun dia, yang merasa punya segalanya dalam hidup seperti harta kekayaan, keluarga, jabatan atau apapun yang sering dibanggakan, tak ada apa-apanya dibanding mereka.
Bersama para wali itu, kami berharap bersama, serta berdoa, agar sumber mata air Sungai Brantas ini terus mengalir tetap memberikan kehidupan dan kesejahteraan buat manusia, bukan bencana. Kami juga bersepakat, hentikan kerakusan, egois dan nafsu untuk apa saja, bukan hanya untuk lingkungan..