Sudah berbeda dengan awalnya dulu.
Saya sudah ke museum banyak presiden Amerika. Makam Bung Karno ini tidak kalah. Hanya saja terlalu banyak spanduk dan banner di sini. Kesannya semrawut. Apalagi di banner-banner itu ada foto tokoh. Kesannya bisa mengurangi fokus ke Bung Karno. Di zaman digital ini spanduk dan banner ternyata masih penting.
Setelah tahlil di makam Bung Karno, kami mampir ke Istana Gebang. Tempat lahir Bung Karno. Saya sering ke situ. Duluuuuu. Ketika saya masih berstatus reporter. Waktu itu belum disebut istana. Hanya disebut rumah Bu Wardoyo.
Rumah ini juga sudah berubah. Sebelah rumah Istana ini sudah dibebaskan. Menjadi tempat parkir yang lapang.
Saya tidak sempat masuk Istana Gebang. Tidak cukup waktu. Janji ketemu seorang pengusaha cengkeh dan durian sudah mepet. Saya pun ke arah timur Blitar. Ke rumah pengusaha itu.
Lalu mampir lagi ke rumah pengusaha muda yang lagi bangkit dari kesulitan besar. Umurnya baru 29 tahun.
Pengalaman terpuruknya sudah begitu dalam. Lalu bisa bangkit: memproduksi pasir kucing. Yakni pasir buatan, yang cocok untuk tempat kucing: agar air kencing kucing piaraan tidak berceceran. Menyatu dengan pasir. Saya pun meninjau pabriknya.
Tidak terlalu lama di situ. Saya sudah ditunggu di suatu desa lebih ke timur lagi: Desa Cokelat. Saya harus ceritakan desa ini -entah kapan.
Saya salut dengan terobosan di desa ini. Juga salut pada pemilik idenya. Saya dibawa keliling “desa” itu. Sampai jam 15.30. Itulah saatnya acara senam dansa dimulai.
Di desa cokelat itu. Rombongan senam kami dari Surabaya pun sudah berjajar rapi. Hampir 100 orang. Tinggal menunggu saya.
Seru. Semangat. Berkeringat. Berarti sehari kemarin itu saya menjalani senam dua kali: pagi di Surabaya, sore di Blitar.
Dengan keringat yang masih mengalir saya harus berdialog dengan sekitar 30 pengusaha kecil se-Blitar di desa itu. Saya tidak mau ceramah. Saya hanya mau dialog. Mereka lebih pinter dari saya: lebih tahu dunia nyata di lapisan bawah.
Benar saja. Enam orang yang saya minta naik panggung ternyata tergolong pengusaha kecil yang tangguh. Mereka bisa bercerita bagaimana harus eksis di tengah pandemi. Bagaimana harus bangkit setelah ditipu orang. Bagaimana harus cari akal ketika perijinan yang dia hadapi begitu sulit.
Maghrib pun tiba. Hujan mulai turun. Saya harus segera menuju desa lain: 20 Km dari Kampung Cokelat: berdialog dengan guru-guru madrasah.
Dalam perjalanan 20 Km itulah naskah ini saya tulis. Seadanya. Kalau tidak layak dibaca, ya, jangan dibaca. Tidak ada lagi waktu menulis.
Setelah dialog dengan guru-guru itu pun saya masih dijadwalkan ke desa lain lagi: untuk hadir di Lailatul Ijtima’ di situ. Yang diadakan oleh pengurus ranting Nahdlatul Ulama desa itu.