TAHUN 1986, saya mulai berpikir untuk memiliki penghasilan rutin. Ini demi tanggungjawab yang besar ketika itu, yaitu keluarga.
Ketika hal itu terucap tidak sengaja ketika saya terlibat perbincangan dengan seorang teman, tanpa diduga teman tersebut menawari sepetak bangunan mungil yang lokasinya berada di depan kampus Universitas Muhammadiyah Kota Malang, dengan lebar 3,5 meter dan panjang 5 meter.
Langsung saja terlintas di benak saya ide untuk berjualan barang-barang kelontong, melayani kebutuhan mahasiswa dan warga sekitarnya.
Saya membayangkan, kawasan sekitar kampus, pasti akan berkembang dengan pesat. Hiruk pikuk kegiatan dan perekonomian sekitar kampus Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Nasional dan Universitas Negeri Malang, adalah bukti bahwa sebuah kampus memiliki magnit kuat bagi perekonomian.
Maka gagasan yang mendapat support tidak sengaja dari seorang teman, itu segera saya seriusi agar dapat terealisasi. Banyak gagasan muncul dibenak, tapi akhirnya akan menumpuk saja sebagai gagasan, karena tidak segera melangkah untuk merealisasikannya.
Saya kira ini pendapat umum, bukan hanya pendapat saya. Tetapi saya tetap menghargai orang yang memiliki gagasan, entah sedikit atau banyak, dari pada yang tidak memiliki gegasan sama sekali.
Saya tidak punya modal untuk memulai membuka usaha di depan kampus Unmuh itu. Tetapi peluang ini tidak boleh saya lepaskan. Tempat usaha pinjam, tapi dengan adanya tempat usaha itu, saya dengan mudah bisa melakukan pendekatan pada beberapa pedagang di Pasar Besar Kota Malang. Mereka menyambut baik, dan bersedia mengirimkan barang dengan bayar di belakang.
Barang-barang dagangan mereka kirim langsung ke toko, sekaligus mereka melakukan apa yang sekarang dikenal dengan sebutan verifikasi faktual. Yaitu toko saya memang benar-benar ada, tidak fiktif, hal itu menjadi semacam jaminan.
Modal yang perlu ketika itu hanya untuk biaya mengecat tembok, agar toko mungil itu nampak lebih bersinar. Tidak kumuh. Modal kecil lainnya yang saya miliki saat itu adalah untuk gaji karyawan selama enam bulan. Itu penting, sehingga saya merasa aman jika saja toko tidak berjalan sesuai harapan, setidaknya selama enam bulan ke depan saya masih bisa menggaji karyawan. Istri saya yang ketika itu sedang hamil anak pertama, bertindak sebagai kasir.
Alhamdulillah, mini market ‘ER’ di depan kampus Unmuh itu ternyata berkembang sesuai prediksi saya . Membuka mini market, atau toko kelontong di depan kampus yang juga sedang berkembang, menurut saya adalah keputusan yang tepat. Dan itu benar-benar kami syukuri, karena modal yang saya miliki hanyalah kepercayaan, yaitu kepercayaan dari seorang teman yang meminjamkan properti kecil miliknya, serta kepercayaan dari beberapa pedagang di Pasar Besar Malang yang bersedia memasok barang dengan sistem bayar di belakang.
Dari mini market itu biaya hidup keluarga bisa tercukupi, plus beli susu untuk anak yang lahir kemudian. Saya sengaja memakai branding mini market untuk toko kelontong di depan Kampus Unmuh itu, padahal isinya ya kelontongan saja, yang berasal dari Pasar Besar.
Kalau sekarang masyarakat melihat adanya dua supermarket yang saling bersaing, saling menggurita, saling menempel dan sama-sama menjadi kanibal bagi toko-toko kelontong dan toko mracangan di kampung-kampung, saya yakin awal mula berdirinya dua gurita supermarket yang tanpa saya sebutkan namanya pun semua sudah tahu itu, juga berawal dari gagasan serupa. Perhitungan, keberanian serta keputusan yang tepat, untuk meraih banyak mimpi .-
Sahabat ER Semarang,
30 November 2021.