"Kapan Sinivasan menghubungi Anda?" tanya saya.
"Sudah lama. Lebih tiga minggu. Kebetulan saya ada jadwal lain di hari yang ia tentukan," tuturnya. Sinivasan pun sabar. Mencari waktu lain yang Gigin bisa.
"Ketika saya menyediakan waktu, ganti ia yang tidak bisa. Ia kan sering ke luar negeri," ujar Gigin.
Cocok-cocokan waktu itu sampai empat kali. Akhirnya cocok: minggu lalu. Seru. Sinivasan terlihat begitu ingin banyak berbicara.
Justru dari video itu saya baru tahu: Sinivasan ternyata masih ada. Masih hidup. Masih mengurus Texmaco. Saya kira ia sudah meninggal. Setelah adiknya tewas bunuh diri -tidak lama setelah krisis moneter 1998.
Begitu lama tidak pernah mendengar nama Sinivasan. Begitu sabar ia bersembunyi dari media. Termasuk sampai 10 tahun ia dicekal -tidak bisa ke luar negeri.
Ia sendiri ternyata pernah mendengar bahwa dirinya dikira sudah tidak ada. Atau sudah melarikan diri ke luar negeri.
Ternyata ia masih aktif. Di umurnya yang kini sudah 85 tahun.
Sinivasan masih mampu jalan darat jarak jauh. Ia pilih naik mobil ketika pulang ke Jakarta dari Batu (Malang). Di Batu Texmaco memang punya pabrik batik.
Bicaranya masih tegas -meski kata-katanya sudah mulai berjarak. Terasa pula napasnya sudah menyesuaikan diri dengan umurnya. Dan kalau berjalan terlihat ada perlambatan di langkahnya. Sesekali ia mengucapkan kata yang tidak sesuai dengan pikirannya. Misalnya kata ''Washington'', mestinya ''New York''. Kan tidak ada pasar modal di Washington. Demikian juga ketika ingin mengucapkan tahun 1946, yang terucap tahun 1960. Yakni tentang kedatangan kembali tentara Inggris ke Indonesia.
Selebihnya ingatan Sinivasan sangat baik. Kelihatannya orang yang punya banyak uang punya ingatan lebih baik -menurut survei asal-asalan.
Sinivasan tidak bisa menerima kalau diragukan nasionalismenya. Ia ingatkan hanya dirinyalah yang menyaksikan begitu banyak pergolakan di Indonesia.
Ia lahir tahun 1937. Di Medan. Di keluarganya sudah tiga generasi lahir di Medan.
Waktu kecil ia melihat tentara Jepang datang ke Medan. Ia tinggal di gang kecil di dekat rumah sakit umum. Hanya 200 atau 300 meter dari rumahnya itulah Jepang bermarkas. Ia bisa melihat langsung kekejaman Jepang. Termasuk melihat sendiri 10 pejuang Indonesia digorok leher mereka. Lalu digantung di depan umum. Itulah cara Jepang untuk menimbulkan ketakutan rakyat.
Ia juga menjadi ''saksi'' proklamasi. "Tanggal 16 Agustus 1945 saya masih menyanyikan lagu nasional Jepang. Tanggal 18 Agustus saya sudah menyanyikan Indonesia Raya," katanya.
Ketika kelas 2 SMP, Sinivasan merantau ke Jakarta. Putus sekolah. Ia dagang tekstil di Pasar Tanah Abang.