Mengapa artis dan selebriti dilarang pakai tas dan pakaian bermerek di media? Mengapa games tertentu dilarang untuk anak-anak? Dan mengapa orang tua yang membiarkan anaknya main games itu dihukum? Mengapa pula Jack Ma dari Alibaba didenda sampai Rp 25 triliun?
Tentu saya harus mencari tahu apa yang terjadi di balik semua itu -untuk Disway.
Tidak semudah dulu -ketika saya masih bisa mondar-mandir ke Tiongkok. Sudah dua tahun saya tidak ke sana -sejak sebelum Covid-19. Sekarang pun masih sulit ke sana. Masih ketat sekali. Fokus di sana masih pada penyelenggaraan Olimpiade musim dingin Februari depan. Yang diboikot Amerika dan tiga negara sekutunya itu: Australia, Inggris dan Kanada.
Akhirnya saya mulai bisa menemukan jawabnya. Mungkin saja itu salah. Ini sama sulitnya dengan menganalisis peristiwa di dalam negeri ini: mengapa Novel Baswedan dkk beneran ditarik ke Polri. Mengapa pula atasan tertinggi mereka di KPK, Firli Burli, juga ditarik kembali ke Polri -dua hari lalu. Kini atasan yang mereka protes itu dan para bawahan yang memprotes itu, sama- sama ada di Polri.
Yang terjadi di Tiongkok juga rumit. Masalahnya menyangkut filsafat negara yang sangat mendasar: tujuan bernegara. Tegasnya: untuk apa negara ada.
Tujuan bernegara itu, di sana, dirumuskan dalam dua kata: Mimpi Tiongkok (中梦). Seperti yang dilontarkan Presiden Xi Jinping di awal jabatannya dulu.
Tapi apa itu Zhong Meng, tidak segera jelas. Xi Jinping masih memprioritaskan dulu terwujudnya dasar-dasar untuk bisa melahirkan mimpi itu.
Sampai sekarang banyak yang mengira tujuan Tiongkok adalah ini: untuk menjadi negara superpower nomor 1 di dunia. Mengalahkan Amerika. Dan itu kian dekat.
Diperkirakan akan terjadi di sekitar tahun 2030.
Baru dua-tiga bukan terakhir saya mendapat bocoran lebih jelas. Ternyata tujuan Tiongkok lebih jauh dari itu. Menjadi nomor 1 itu hanya hasil sampingan. Tujuan utamanya adalah Mimpi Tiongkok: sejahtera dan harmoni. Sejahtera lewat pembangunan ekonomi dan sosial. Harmoni akan dicapai lewat pembentukan jiwa manusia. Mengapa menjadi nomor 1 bukan tujuan utama? "Konsekuensi menjadi negara superpower nomor 1 itu sangat berat. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat," ujar salah satu sumber saya di sana.
Bisa saja sumber itu bagian dari indoktrinasi, provokasi, promosi dalam sistem komunisme. Tapi sedapat mungkin saya mencoba membedakan mana informasi yang menyesatkan dan mana yang kenyataan.
Yang jelas upaya mencukupi sandang-pangan-papan benar-benar telah tercapai.
Tujuan menghilangkan kemiskinan juga baru saja tercapai - -atau kalau mau lebih hati-hati, sudah di depan mata.
Persoalannya masih dua: munculnya perbedaan kaya miskin dan terjadinya perubahan moral masyarakat -yang kian mengejar materi.
Indonesia memang bisa lebih bangga: perbedaan kaya-miskinnya tidak semencolok Tiongkok -berdasarkan indeks Gini. Tapi mengejar pemerataan itu, di sana, bisa lebih mudah: kekayaan yang akan dibuat merata itu ada. Cukup. Banyak. Berlebih.