Keputusan ini bukan tanpa alasan, mengingat modal usaha Heri Nurdi relatif kecil. Untuk bahan produksi saja modalnya pas-pasan, tentu ia tidak ingin terbebani lagi biaya tambahan seperti untuk promosi dan ongkos pengiriman. Sementara, limit keuntungan dari produknya laku cukup kecil.
Di era serba digital kini, maka pemesanan dan penjualan produk UKM pun kini sudah banyak yang dilakukan secara online. Produk-produk UKM bisa dibeli langsung di toko ritel, atau melalui lapak online jika produk mereka tergabung dalam berbagai marketplace. Belanja online ini, yang mau tidak mau menyertakan pilihan sistem layanan antar dan jasa pengirimannya.
Sementara, pelaku dan tempat produksi produk UMKM/IKM kebanyakan juga terdapat di wilayah pinggiran perkotaan. Kebanyakan pula, tempat produksinya terbatas (rumahan), dan tidak punya tempat lain untuk menjual produk hasil produksinya. Dalam kondisi ini, meskipun produk mereka biasanya dikenal lebih murah, akan tetapi tidak serta merta mudah didapatkan.
Persoalan di atas nyata-nyata menunjukkan ketidakberdayaan pelaku usaha kecil rumaham, seperti halnya yang dialami Heri. Karuan saja, pelaku UMKM dihadapkan pada kendala dan tantangan berat, selain ketidakcukupan modal usahanya. Yakni, terjepit persaingan harga jual dan layanan antar untuk penjualan produknya.
Dalam kondisi ini, bagi pelaku UMKM hanya ada dua pilihan. Menjual atau titip jual produknya secara langsung sebanyak mungkin, atau memasarkan lebih maksimal dengan pilihan sistem pesanan dan siap dengan jasa antar. Masing-masing pilihan ini, berkonsekuensi penyesuaian strategi yang bagaimana agar produksi dan penjualan produknya tetap berjalan dan bisa menghasilkan keuntungan lebih banyak.
Pilihan yang apapun, ini bisa menjadi kendala dan tantangan berat, terlebih bagi produsen atau pelaku UMKM pemula (startup), dengan modal usaha pas-pasan. Maka, keberadaan pihak lain yang bisa mempermudah mata rantai distribusi produk UMKM menjadi sangat penting dan nyata dibutuhkan.
Ada banyak jasa ekspedisi atau pengiriman yang bisa menjembatani masalah dan kendala bagi UMKM tersebut. Perusahaan jasa pengiriman JNE misalnya, selama ini dikenal sudah banyak andil ditengah-tengah tantangan pelaku UMKM di Indonesia. Salah satunya, melalui produk JNE Loyalty Card (JLC).
Sejak 2017an lalu, JNE mengembangkan program JNE Loyalty Card (JLC) ini. Dan, pada 2019, tercatat jumlah JLC sudah mencapai lebih dari 140 ribu anggota di seluruh Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah pelaku UMKM di kabupaten/kota, jumlah pelanggan JLC ini tentu masih bisa ditingkatkan berkali lipat lagi.
Tak hanya itu, JNE bisa membantu pelaku UMKM untuk bisa lebih berkembang. Yang sudah dilakukan antara lain mengedukasi para pelaku UKM untuk menjadi vendor agar produk UKM lokal dapat dipromosikan lebih luas ke seluruh Indonesia melalui website Pesona JNE, juga pelatihan gratis tentang strategi digital marketing, packaging, dan sebagainya untuk para pelaku UMKM.
Dalam konteks kesulitan pelaku UMKM di atas, layanan pengiriman dengan bea yang lebih limit dan kompetitif khusus bagi pengiriman produk UMKM, bisa lebih dimaksimalkan. Ini bisa dengan pilihan skema produk layanan tambahan, bagi produk UMKM yang banyak diminati konsumen.
Optimisme bisa dibangun JNE bagi UMKM dari skema jasa pengiriman khusus ini. Semakin tinggi tingkat penjualan dan distribusi produk UMKM, maka akan semakin banyak kemudahan pengiriman yang bisa diperoleh dari JNE. Dengan cara ini, maka semua bisnis UMKM akan berkompetisi aktif serta termotivasi mengembangkan produk dan memperluas pasar penjualannya. (*)