INI peristiwa beberapa tahun lalu, saat saya menjalankan ibadah haji di Tanah Suci Mekah.
Selesai melaksanakan serangkaian ibadah baik yang wajib maupun sunnah, ketika hendak kembali ke tanah air, semua anggota rombongan diberi kesempatan selama seharian untuk berkeliling Kota Jeddah, sambil menunggu jadwal penerbangan tengah malam.
Kami pun melakukan city tour, berkeliling kota sekaligus untuk berbelanja oleh-oleh. Setelah sebentar bergabung dengan rombongan, saya nyempal untuk mencari barang khas yang unik. Sudah lama saya suka barang antik, maka sebagai penanda, barang antik etnik Arab itulah yang saya cari.
Alhamdulillah, atas petunjuk seseorang akhirnya saya menemukan sebuah toko kecil yang khusus menjual barang antik. Sangat banyak pilihan di toko itu, yang hampir semuanya saya suka. Tetapi mengingat ongkos pengiriman, akhirnya saya memilih sebuah barang. Yaitu sebuah pintu kayu.
Saya amati pintu itu dengan seksama. Ukir-ukirannya khas arabian. Sangat menarik. Ornamen-ornamen berupa ukiran yang indah. Apalagi kunci pintunya berupa palang kayu, berada di luar. Bukan di dalam sebagaimana pintu kayu kuno berpalang seperti yang ada di Indonesia, yang juga saya miliki.
Ukuran pintu khas Arab itu tidak terlalu besar. Tinggi dua meter, lebarnya hanya 1 meter. Tadinya penjual minta mahal, menurut ukuran saya. Terjadilah tawar menawar, dan akhirnya disepakati harganya. Uang saku yang sedianya untuk membeli oleh-oleh, ludes. Tetapi saya puas.
Pintu. Semua orang mengetahui fungsinya. Semua orang pernah melewatinya. Termasuk saya tentu saja. Tetapi pintu yang pernah saya lalui beberapa waktu lalu, sungguh tak pernah saya lupakan. Pintu besar, kokoh, tebal, melengkung, diperkuat dengan palang-palang besi. Ini pintu besar yang saya yakin, semua orang tidak ingin melewatinya.
Malam itu, saat hendak masuk ke sebuah bangunan melalui pintu besar itu, saya tertegun. Rasanya ingin sekali saya berbalik. Tetapi saya kuatkan hati untuk tetap melaluinya. Saya memang harus melewatinya. Ini menjadi pengalaman batin yang luar biasa.
Melihat pintu besar itu, apa yang ada di baliknya seperti kosong. Tidak berisi sebuah kehidupan nyata. Tetapi setelah saya benar-benar melewati pintu itu, bahkan telah sekian tahun saya berada di balik pintu itu, ternyata hampir semua kehidupan yang ada di luar seakan menyatu . Semua hiruk pikuk dengan kehidupan manusia di luar, semua juga terjadi di dalam, nyata dan utuh.
Kehidupan sosial, ekonomi, agama, budaya, teknologi dan semua seluk beluk yang selama ini hanya berupa cerita, semuanya adalah nyata. Seperti tidak pernah kosong.
Sebagaimana di luar, waktu juga berjalan begitu cepat. Informasi dan peristiwa apapun yang ada di luar, dengan cepat juga bisa didapatkan. Tetapi bersamaan dengan itu, peristiwa-peristiwa yang dahulu pernah saya alami, baik peristiwa besar maupun peristiwa kecil yang tampaknya tidak penting, serasa sangat mudah kembali terjadi, setidaknya bermunculan kembali di dalam pikiran.
Peristiwa dan kejadian yang dulu pernah saya alami, sekarang seperti datang kembali, dalam ingatan. Satu demi satu bermunculan,
Termasuk peristiwa ini. Suatu malam, di alon-alon, saya bertemu dengan seorang lelaki separuh baya. Dia jualan cilok. Saya tertarik untuk menghampiri penjual cilok itu, karena dalam berjualan itu dia mengajak istri dan dua anaknya. Sesuatu yang menurut saya sangat berlebihan. Jualan cilok saja kok mengajak keluarga.
Dari dialog akhirnya saya mengetahui, sejak pagi hingga sore laki-laki itu kerja sebagai kuli bangunan, malamnya jualan cilok. Kenapa anak-anaknya juga diajak? Menurut penjual cilok itu, kasihan kalau anak-anak yang masih kecil itu ditinggal, tidak ada yang menjaga. Jadi ya semua sekalian diajak jualan, di alon-alon.
Penjual cilok itu kemudian bercerita. Sekali jualan, modalnya sekitar Rp 300 ribu. Kalau habis, bisa menghasilkan Rp 100 ribu. Tapi penghasilan bersih itu masih harus dikurangi untuk bayar cicilan. Lho, punya pinjaman ke bank, tanya saya.