Capek mendengar ocehan tetangga dan kekhawatiran orang tua, Soedomo lalu menenangkan dengan kalimat singkat, “Sudahlah… jangan dengerin encik-encik itu.”
Soedomo sudah punya perhitungan matang. Dengan mendatangkan mesin roasting kopi dari Jerman, ada banyak efisiensi yang bisa dilakukan. Artinya ada banyak penghematan. Di sisi lain, kapasitas produksi juga bisa ditingkatkan. Dengan efisiensi di satu sisi, serta peningkatan kapasitas produksi di sisi yang lain, Soedomo yakin, investasi di mesin roasting itu bisa segera kembali modal.
“Maklumlah, waktu itu memang saya nekat betul. Untuk beli mesin seharga Rp 137 juta, saya utang bank. Mungkin itu yang membuat orang tua dan keluarga besar keberatan dan khawatir berlebihan,” ujarnya.
“Banyak Anak”
Mungkin tidak banyak yang tahu, Soedomo (baca: perusahaan kapal api) memiliki banyak anak. Ya, anak manusia. Anak-anak yang harus disantuni sejak masih dalam kandungan, proses persalinan, pertumbuhan, hingga sekolah, dan bekerja.
Cukup panjang jika dinarasikan. Tapi sayang kalau tidak diringkas, sebagai bumbu tulisan, melengkapi jatuh bangkit perjalanan bisnis Soedomo.
Alkisah tahun 1984, pemerintah mengajak Kapal Api untuk memiliki kebun kopi sendiri. Di mana saja di wilayah Indonesia. Tidak hanya instruksi, tetapi pemerintah juga memberi fasilitas pendanaan melalui Bank Bumi Daya.
“Saya sempat bilang, bagaimana kalau gagal? Sebab saya tidak punya pengalaman berkebun kopi,” kata Soedomo kepada perwakilan pemerintan yang menemuinya.
Karena itu suatu keharusan, maka mau-tidak-mau, Soedomo melaksanakan. Tapi, tidak mau asal membangun perkebunan kopi. Untuk itu ia pergi ke sejumlah negara untuk studi banding. Yang utama ia datangi negeri Belanda. “Sudahlah. Pendek kata, kalau mau tahu bagaimana Indonesia di masa lalu, pergilah ke Belanda, terutama di Pusat Arsip Nasional Belanda,” katanya.
Pilihan Toraja
Di Belanda ia mendapati catatan-catatan tentang perkebunan kopi. Semua perkebunan kopi zaman Belanda, ada catatannya. Dibangun sejak kapan, pemiliknya siapa, kapasitas produksinya berapa, sampai bayar pajaknya berapa, tercatat dengan baik. “Dari catatan itu saya putuskan ke Toraja Sul Sel. Kopi Toraja kan memang sangat terkenal sejak dulu,” tambahnya.
Tahun 80-an itu pula Soedomo berangkat dari Surabaya ke Makassar, nyambung ke Makale jalan darat, dan nginep semalam. Esoknya lanjut ke Bittuang di Tana Toraja, lewat jalan rusak sejauh kurang lebih 20 km. Jarak 20 km, ditempuh dalam waktu lima jam, saking hancurnya jalanan ketika itu. “Begitu sampai, masih harus jalan kaki tiga jam, naik gunung, melintasi sungai. Sesampai di sana, wah… benar-benar masih kelihatan peninggalan Belanda,” kata Soedomo.
Soedomo bawa ransel, sleeping bag, tabung lilin untuk tidur, perlengkapan penerangan sekadarnya, alat masak yang juga sekadarnya. Mirip orang mau berkemah. “Dingin luar biasa. Sekali ke sana, paling cepat saya dua minggu baru turun. Tapi apa yang saya mau katakan, sampai hari ini, tidak ada untung sama sekali,” ujar Soedomo, pahit.
Soedomo pun berkisah. Tenaga kerja di sana sangat susah diajak sinergi. Berbeda dengan zaman Belanda yang barangkali setengah kerja paksa. Sesuatu yang tidak bisa lagi digunakan di era kemerdekaan. Suatu ketika, Soedomo membawa tenaga kerja dari Jawa. Bupati tidak berkenan, dan memaksa harus menggunakan tenaga kerja lokal.
Soedomo bersikukuh mempertahankan tenaga dari Jawa dengan dalih, warga di sekitar tidak ada yang bisa mencangkul. Justru dengan didatangkan pekerja dari Jawa, Soedomo bermaksud mengajarkan penduduk setempat bagaimana mencangkul dan merawat kebun kopi.
Repot Asmara Pekerja