Prof Buss dalam bukunya adalah hasil riset. Jumlah responden 5.000 orang pria wanita proporsi seimbang. Usia responden 20 - 60 tahun. Yang menarik adalah ini:
Dari responden, 91 persen pria dan 84 persen wanita, di sepanjang hidupnya, pernah berpikir membunuh orang. Cuma berpikir, atau membayangkan.
Ketika membayangkan membunuh, ia sedang diliputi rasa tidak suka yang parah terhadap orang yang ditarget bunuh. Sampai di sini, unsur emosional dari Robert Burton, masuk. Terpakai.
Tapi, dari sekian responden yang membayangkan akan membunuh, rata-rata hanya sekitar 1 persen yang benar-benar melaksanakan pembunuhan. Artinya, mayoritas tidak mewujudkan niat mereka.
Diperdalam lagi, mengapa yang 1 persen itu benar-benar membunuh? Dijawab, bahwa yang bersangkutan sudah punya masalah psikologis sebelum melaksanakan pembunuhan.
Digambarkan, orang yang mengemudi mobil di kemacetan lalu lintas, sedikit atau banyak, sudah diliputi stress. Ketika di kemacetan lalu lintas itu ada orang yang melakukan suatu tindakan menjengkelkan, maka meningkatkan stress.
Itu belum cukup memicu tindakan pembunuhan. Tapi, jika orang yang bersangkutan punya problem pribadi yang rumit, misalnya, sedang dalam proses perceraian, atau sedang ditagih utang, maka tingkat stress naik lagi.
Itu juga belum menghasilkan pembunuhan. "Pembunuhan terjadi, jika yang bersangkutan merasa hidupnya terancam oleh korban. Dan, ancaman tampak nyata," tulis Prof Buss dalam bukunya.
Di kasus Tangerang, kejadiannya terlalu sederhana untuk menghasilkan pembunuhan. Maka, tugas polisi mengungkap latar belakang motif secara lebih spesifik.
Pengungkapan motif, untuk setiap kejahatan, jadi pelajaran bagi masyarakat. Agar terhindar dari kejahatan. (*)