Siswi Jakarta Wajib Jilbab dalam Social Identity Theory

Senin 15-08-2022,12:17 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Djono W. Oesman

Ini masalah sangat sensitif di Indonesia. Meskipun dalam sosiologi, manusia makhluk sosial. Hidup berkelompok-kelompok. Setiap individu cenderung menyatukan diri dengan individu sejenis berdasar suku, agama, ras, antar golongan. Membentuk kelompok.

Penyatuan diri setiap individu dalam suatu kelompok, bisa atas inisiatif individu yang bersangkutan, atau diajak teman. Atau berdasar aturan tertentu.

Dalam sosiologi itu disebut "in-group" dan "out-group". Kami dan mereka.

Seseorang menyebut 'kami', berarti merujuk pada kelompoknya. Dan, 'mereka' untuk menyebut kelompok lain di luar kelompoknya.

Henri Tajfel dan John Charles Turner dalam buku mereka bertajuk “The Social Identity Theory of Intergroup Behaviour” (1986) adalah rujukan sosiolog dalam analisis teori in-group dan out-group.

Buku karya Tajfel dan Turner itu terinspirasi dari teori karya Psikolog Sosial Amerika keturunan Turki, Muzafer Sherif, bertajuk "The Realistic Conflict Theory" (1950).

Tajfel dan Turner dalam buku mereka, menyebutnya sebagai Social Identity Theory (SIT) dicetuskan Tajfel dan Turner pada 1970.

Inti dua teori itu, sama: Individu meleburkan diri dalam suatu kelompok yang punya kesamaan dengan individu tersebut. Kesamaan dalam arti luas, antara lain, suku, ras, agama, dan sejenisnya.

Atau satu pemikiran, misal, sesama intelektual, sesama guru, sesama tukang ojek online, sesama tukang ojek pangkalan. Itu sebab, tukang ojek online bermusuhan dengan tukang ojek pangkalan.

Disebutkan di teori SIT, setiap manusia ingin dihargai. Ingin dihormati. Ingin mendapatkan sumber daya hidup (makanan) yang cukup. Itulah kodrati.

Setiap manusia berasumsi, ia akan lebih dihormati, dihargai, dapat makanan cukup, jika meleburkan diri (bergabung) dengan kelompok yang sejenis. Itulah pondasi teori In-group dan Out-group.

Tapi manusia selalu ingin lebih. Dari sesuatu yang sudah ia didapatkan. Sudah dapat satu, ingin dua, dan seterusnya. Sampai manusia itu mati.

Ketika manusia 'ingin lebih' itulah, ia atau kelompoknya, melakukan intervensi kelompok lain. Bahkan, agresi. Awalnya, dengan cara menjelekkan kelompok lain. Bertujuan agar 'kelompok lain' bergabung ke 'kelompoknya'.

Pelaku intervensi-agresi itulah disebut berperilaku intoleran. Inilah potensial konflik. Atau, bisa berubah menjadi konflik antar kelompok. Karena, ada aksi maka ada reaksi.

Selanjutnya, berlaku hukum rimba. Pemenangnya adalah yang paling kuat. Yang lemah jadi tertindas. Kalau keduanya sama kuat, maka semua hancur lebur.

Tajfel dan Turner dalam buku mereka memberi contoh, peristiwa dunia, berikut ini:

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler