Logikanya, warga tidak paham persoalan perkara hukum yang sedang diproses, lalu dikompori seolah-olah penegak hukum melakukan kriminalisasi. Istilah 'kriminalisasi' pun, jadi populer.
Akibat akhirnya, cara begini ditiru warga Papua. Tepatnya, ditiru oleh pihak yang menggerakkan massa di Jayapura, Papua. Supaya membela tersangka korupsi. Dengan dalih, Enembe sengaja dimusuhi KPK.
Provokasi itu 'dilebarkan' lagi, menjadi isu: "Enembe tidak disukai pemerintah. Makanya, Enembe akan ditangkap."
Provokasi model ini langsung dipercaya warga. Ditelan mentah-mentah. Padahal, Enembe adalah Gubernur Papua, bagian dari pemerintah. Atau kepala daerah. Mana logikanya, pemerintah tidak menyukai pemerintah?
Law enforcement sudah dirusak oleh orang-orang di Pulau Jawa. Kerusakan itu sekarang ditiru warga Papua. Jadi meluas.
Seumpama KPK benar-benar khawatir menjemput paksa Enembe, maka ada dua kemungkinan:
Pertama, KPK memang tidak punya, minimal dua bukti hukum yang kuat dalam menetapkan Enembe sebagai tersangka.
Kemungkinan pertama ini sudah terbantahkan oleh pernyataan Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan pers, Senin 19 September 2022, ia menyatakan:
"Kami memastikan bahwa setiap perkara yang naik ke tahap penyidikan, KPK telah memiliki minimal dua alat bukti yang cukup."
Dilanjut: "Kami tegaskan, KPK tidak ada kepentingan lain, selain murni penegakan hukum sebagai tindak lanjut laporan masyarakat."
Kedua, negara Indonesia sudah kalah dilawan preman. Meskipun tidak ada negara yang kalah dilawan preman, kecuali negara lemah.
Itu sebab, Kapolri mendukung, menyiapkan 1.800 pasukan polisi di Papua, seandainya KPK minta bantuan Polri untuk menjemput paksa Enembe. Sikap Kapolri ini menegaskan, bahwa negara tidak boleh kalah dilawan preman.
Perkara yang sesungguhnya sederhana, penyidikan dugaan korupsi biasa, yang sangat sering terjadi, di perkara ini berubah jadi rumit. Apalagi, sampai benar-benar melibatkan 1.800 polisi dalam proses jemput paksa Enembe.
Tapi, bisa saja kesiapan 1.800 polisi itu membuat pihak provokator warga di Papua, yang akan mengerahkan warga untuk membela Enembe, berbalik jadi jiper. Mereka jadi hilang nyali. Atau, tepatnya pasrah atas jemput paksa Enembe.
Efek itulah yang paling aman. Enembe memang wajib menghadiri panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka. Ia bisa langsung ditahan. Bisa juga tidak. Tergantung hasil pemeriksaan KPK.
Perkembangan perkara ini menggambarkan, bahwa provokator pembela tersangka, memang ada. Entah dibayar atau tidak. Bermula di Pulau Jawa. Merembet ke Papua. (*)