MALAM MINGGU KELABU itu terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. 125 jiwa suporter Arema meregang nyawa. Mereka korban Gas Air Mata yang ditembakkan aparat Kepolisian saat mengamankan pertandingan kompetisi Liga 1 antara Arema vs Persebaya. Tak hanya Indonesia menjerit menangis, dunia pun ikut menumpahkan air mata atas tragedi 1 Oktober 2022 itu.
Peristiwa menggemparkan ini diketahui hari Ahad subuh pukul 04.35 WIB, 2 Oktober 2022, setelah Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta memberikan keterangan pers. Karuan saja menyita perhatian publik. Sejak itu pula, beritanya muncul di media cetak, online dan elektronika berisi komentar beragam mulai politikus, tokoh masyarakat, hingga presiden Jokowi.
Menyikapi peristiwa mendunia ini, marilah semua mulai berfikir jernih meratapi tragedi kemanusiaan di cabor sepakbola ini.
Bahwa Panpel salah ya, karena penonton yang masuk stadion melebihi kapasitasnya.
Bahwa LIB PSSI salah ya, karena "memaksakan" pertandingan super derby panas dilaksanakan malam hari demi "melayani" TV partner yang mengejar rating sebagai mahadewa dunia per-televisian.
Terhadap "kesalahan" tersebut sudah cukup impaskah dihukum dengan desakan mundur para pemangku kepentingan itu ?
Cukup impaskah kematian ratusan orang tidak berdosa itu ditukar dengan sikap mundur seluruh pengurus PSSI ?
Menurut Haruna Soemitro, ini TRAGEDI KEMANUSIAAN disebut secara ekstrim bagai GENOSIDA yang disengaja "membunuh" ratusan orang tidak berdosa dengan alat Gas Air Mata.
Coba bandingkan dengan kejadiaan yang hampir serupa saat para Bonek marah karena timnya Persebaya kalah vs Rans United di stadion Delta Sidoarjo beberapa waktu yang lalu. Kronologis dan trigernya sama. Yakni tim kebanggaannya kalah, supporternya marah, masuk ke lapangan, merusak seluruh property stadion, tapi tidak ada tindakan aparat yang "berlebihan" ibarat membantai perusuh dengan anarkhis. Tidak ada tembakan mematikan dengan Gas Air Mata. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Kerugian materiil mudah dihitung dengan kalkulator !
Kejadian yang hampir mirip terjadi sekira 6 bulan lalu, saat kematian 2 bobotoh dalam pertandingan derby Persib vs Persebaya, dalam handlingnya mengatasi "kerusuhan" tidak memakai senjata Gas Air Mata, meskipun tetap memakan korban 2 bobotoh kehilangan nyawa.
Dari kedua fakta tadi jelas, andai di stadion Kanjuruhan tidak ada senjata Gas Air Mata yang mematikan itu hampir dipastikan tidak akan terjadi tragedi kemanusiaan yang menelan 125 nyawa suporter Arema !
Terlalu kecil mendorong dan "memaksa" para pemangku sepakbola Indonesia, dalam hal ini pengurus PSSI untuk bertanggung jawab dengan mundur !
Tragedi kemanusiaan yang boleh disebut sebagai Genosida --pembunuhan massal-- haruslah diurai sampai yang paling kecil. Kenapa harus dengan Gas Air Mata ? Siapa yang menembakannya ? Atas perintah siapa ? Apakah atas dasar SOP dan seterusnya ? Sampai benarkah kematian ratusan jiwa itu karena akibat keracunan Gas Air Mata ? Seterusnya harus dilidik secara mendalam, transparan dan imparsial !
Sekali lagi terlalu kecil memikirkan sanksi FIFA, gagal tuan rumah Piala Dunia U-20, sampai "tiji tibeh" seluruh pengurus PSSI mundur ! Sampai tidak ada cabor sepakbola lagi di Indonesia !