Buku tersebut, memetakan problematika KDRT secara detil. Juga mengulas, mengapa pria tega jadi pelaku KDRT terhadap isteri, yang semula (sebelum pernikahan) ia cintai. Atau, suami masih cinta ke isteri, sekaligus selalu terjadi KDRT.
Buku itu memberikan wawasan tentang potensi manfaat atau kelemahan pengungkapan. Tujuannya kepada para profesional di lembaga HPC. Agar para profesional HPC memberikan nasihat terbaik buat para korban.
Robinson dan Spilsbury, di buku mereka itu memberikan titik awal yang penting untuk lebih memahami hambatan dan fasilitator pengungkapan bagi para isteri korban KDRT.
Robinson dan Spilsbury menulis: "Untuk mengatasi hambatan ini, kami melakukan tinjauan sistematis terbaru dari studi kualitatif yang menyelidiki pengalaman dan persepsi korban DV (Domestic Violence) tentang pengungkapan dalam pengaturan perawatan kesehatan."
Intinya: Tidak gampang. Bagi korban KDRT memperkarakan kekerasan yang mereka alami. Apalagi, bagi pasutri yang sudah punya anak.
Karena pelaku KDRT jika terbukti di pengadilan, hukumannya tidak ringan. Pasal 44 ayat 1, UU KDRT, ancaman hukuman empat tahun penjara. Di Amerika, lima belas tahun penjara.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Sebab, anak-anak itu setelah dewasa kelak, bakal tahu bahwa ayah mereka penjahat.
Disimpulkan di buku itu, berdasar data World Health Organization (WHO), satu dari empat pernikahan di Amerika, terjadi KDRT. Sebagian korban KDRT melapor ke polisi, sebagian tidak.
Tentu, korban KDRT yang tidak melapor ke polisi, bakal memendam sakit hati. Sangat lama. Merujuk buku Robinson dan Spilsbury, pelaku KDRT bakal mengulangi perbuatan, sampai mereka mati.
Di kasus Lesti Kejora, publik sudah bisa menduga, apa yang terjadi pada Lesti-Rizky? Walau, dugaan publik belum tentu benar. Juga, publik sudah bisa mereka-reka, apa yang bakal dilakukan Lesti sebagai terduga korban?
Dasar dugaan publik, mengacu pada tindakan penyidik: Akan dibawa ke mana, perkara ini? (*)