Terus, apakah perkara ini bakal dihentikan, meski statusnya sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan? Jawabnya, tergantung hasil penyidikan polisi.
Sedangkan penyidikan polisi, jika sudah dinyatakan terbukti KDRT, masih juga tergantung pada pelapor (Lesti Kejora). Dilanjut atau tidak. Seandainya pelapor mencabut laporan, lalu berdamai, perkara ditutup. Sebab, KDRT tergolong delik aduan.
Pasal 75 KUHP menyatakan, bahwa penarikan kembali pengaduan atas suatu delik, dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan (dilaporkan). Apabila tenggat waktu terlampaui, maka pencabutan aduan tidak bisa lagi dilakukan.
Lesti punya hak menghentikan perkara.
Sungguh rumit. Konflik suami-isteri, suatu cobaan hidup berat bagi para pihak. Apalagi, Rizky-Lesti sudah dikaruniai anak, Muhammad Leslar Al-Fatih Billar. Kini usia delapan bulan.
Seumpama, Lesti meneruskan perkara ini, hampir pasti mereka bercerai. Hak asuh anak, hampir pasti jatuh pada ibu. Apalagi KDRT ayah terhadap ibu.
Setelah cerai, status Lesti janda. Status yang dihindari wanita, jika tidak karena sangat terpaksa.
Seandainya, Lesti menghentikan perkara ini, mungkin dia juga ngeri (jika laporan polisi Lesti, benar-benar terjadi, bukan bohong). Bagaimana mungkin, dia bisa menahan semua itu, kelak?
Ini suatu pilihan hidup yang rumit bagi korban.
Louise Robinson dan Professor Karen Spilsbury dalam buku mereka: "Systematic review of the perceptions and experiences of accessing health services by adult victims of domestic violence" (2008), menjelaskan, bahwa tidak gampang buat wanita korban Domestic Violence (KDRT) membawa perkaranya ke ranah hukum.
Buku itu ditulis berdasar hasil riset mereka di Amerika Serikat. Para korban KDRT di sana, tidak langsung lapor polisi. Melainkan, diawali lapor ke lembaga healthcare professionals (HCP).
Di HCP korban didampingi dan diterapi pakar psikologi. Korban diberi saluran peluapan emosi jiwa. Menceritakan semua detil KDRT. Psikolog mendengarkan dengan cermat. Lantas psikolog memberi advis, sampai pendampingan.
Setelah pendampingan, keputusan terserah pada korban, apakah perkaranya diteruskan ke polisi, atau berhenti sampai di situ. Kalau ke polisi, otomatis pasutri bercerai. Pelaku KDRT dihukum sangat berat.
Sebaliknya, kalau stop, korban kembali lagi ke suami. Serumah lagi. Dengan risiko, bisa terjadi KDRT baru, suatu saat kelak. Sebab, disimpulkan, mayoritas pelaku KDRT, mengulangi KDRT-nya, sepanjang hidup.
Di buku itu disebutkan, setelah korban melapor ke lembaga HCP, hasilnya bisa dua: Positif. Korban (isteri) merasa yakin bahwa pernikahan mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Maka, lapor polisi, yang otomatis mereka bercerai.
Hasil ke dua, negatif. Korban tidak melanjutkan perkara ke polisi. Dia menahan diri. Di saat yang sama, korban merasa hancur, ikut bersalah atas terjadinya KDRT, lalu balik lagi serumah bersama suami(pelaku KDRT).