Seandainya, pelaku tidak tahu, bahwa bom di tubuhnya bisa diledakkan melalui remote oleh orang lain di jarak jauh, itu lebih parah lagi. Bukan Lone Wolf, melainkan ketipu kelompok teroris.
2) Jenis non-ideologis. Pelaku teror jenis ini, individu yang kecewa dan dendam pada institusi, bekas sekolah, bekas tempat kerja, bekas tempat ia bergabung dengan suatu organisasi. Tapi, tanpa motif ideologi politis atau agama.
Di AS, pelaku umumnya menggunakan senjata api. Misal, menembaki siswa di suatu sekolah. Menembaki penonton di gedung bioskop. Atau, orang gila tanpa motif.
Elina dan Zakiah, masuk jenis nomor satu. Meskipun, Elina diajari guru Jamaluddin tentang ideologi NII. Tapi, seperti buku Randy Borum, ia diajari informal. Door to door. Pendidikan tidak diorganisir secara rapi. Sebab, secara formal NII tidak ada. Meskipun orang-orang, simpatisannya, ada.
Orang-orang terafiliasi NII mungkin saja bergerak underground. Lalu, mereka mengajar underground juga. Seperti terbukti pada Siti Elina.
Itu, tanggung jawab intelijen negara. Juga guru agama. Di sekolah formal, maupun lembaga pendidikan agama non-formal.
Lone Wolf jenis ideologis tidak berbahaya, meski menakutkan. Elina dan Zakiah tidak melukai orang.
28 Maret 2021, Lone Wolf bernama Ibrahim Ibnu Andra, meledakkan diri di depan Gereja Katedral, Makassar. Tidak sampai membunuh orang. Hanya melukai sekitar 20 orang.
Lone Wolf jenis ideologis, bisa dididik oleh pendidik. Asal pendidik mau.
Yang sulit justru Lone Wolf non-ideologis. Orang sakit hati, lalu dendam pada bekas sekolah, atau bekas tempat kerja, lalu nembak, membabi-celeng. Siapa tahu? (*)