Gampangnya, apakah dia pasien pada saat sebelum main porno, ataukah sesudahnya? Diperjelas, apakah dia pasien kemudian menyebabkan jadi porno? Atau, karena aktris porno laris, berakibat jadi pasien?
Setidaknya masyarakat bisa waspada, hati-hati kalau punya keluarga perempuan yang pasien RSJ, karena bisa porno. Atau sebaliknya. Tujuannya, meminimalisir jumlah aktris porno. Biar arek-arek lanang itu tidak selalu kepo.
Riset tentang psikologi aktris porno di Amerika Serikat, sangat jarang. Kalau pun ada, tidak mendalam. Apalagi di Indonesia.
Lima dosen psikologi di UCLA (University of California, Los Angeles) meriset itu. Mereka: Corita R. Grudzen, Gery Ryan, William Margold, Jacqueline Torres, Lillian Gelberg. Riset dibiayai Program Beasiswa Klinis, Robert Wood Johnson. Tanpa laporan keuangan, tanpa intervensi teknis riset.
Hasil riset mereka dipublikasi di jurnal ilmiah medis, National Library of Medicine, 16 Agustus 2008, bertajuk: "Pathways to Health Risk Exposure in Adult Film Performers".
Lokasi riset, Los Angeles, AS. Sebab, di kota terbesar kedua Amerika itulah, jumlah terbanyak pelacur dan aktris film porno bermukim, berproduksi. Di sana legal.
Tim riset merujuk buku karya Schlosser E. Reefer, "Madness: Sex, Drugs and Cheap Labor in the American Black Market" (New York, 2003). Bahwa Los Angeles jagonya porno.
Dituliskan, produk film porno terbesar dunia adalah Los Angeles. Industri film heteroseksual berpusat di San Fernando Valley, Los Angeles. Total omset film porno di sana USD 4 miliar (sekitar Rp 62,6 triliun, kurs Rp 15.670 per USD) per tahun pada 2003.
Total volume produksi film porno 10.000 per tahun pada 2003. Atau 27 film per hari, waktu itu. Karenanya, riset tim UCLA pada 2008 di sana.
Jumlah responden 18 aktris, 10 aktor, dan dua informan. Mereka semua pemain aktif industri film porno. Topik riset kesehatan fisik dan mental. Lebih banyak ke kesehatan fisik: PMS dan HIV AIDS.
Diungkap, responden terkena trauma fisik di lokasi syuting. Banyak yang masuk, lalu meninggalkan industri porno dengan ketidak-amanan finansial dan menderita masalah kesehatan mental.
Bayaran mereka sangat tinggi. Rerata aktris USD 2.000 per hari, aktor USD 1.700. Tapi mereka terlalu konsumtif. Mungkin, karena beranggapan bahwa esok ada banyak duit lagi. Sehingga, mereka bahkan terbelit utang.
Fokus ke psikologis mereka, ternyata memang bermasalah. Aktris tidak mungkin mengakui, bahwa dia mengalami gangguan jiwa. Seperti halnya, semua orang gila pasti mengaku tidak gila (sambil ketawa meringis).
Soal kondisi psikis, responden menolak diperiksa psikiater. Tim riset melakukan cek silang: Aktor menilai kondisi psikologis aktris, dan sebaliknya. Tapi, hasilnya memang subyektif.
Ada lima aktris diminta menyampaikan keluhan mereka. Hampir semuanya mengatakan, sejak jadi aktris mereka jadi gampang marah. Bahkan untuk persoalan sepele.
Salah satu aktris cerita: “Mereka (produser) menghancurkan saya. Ketika saya baru tiba di sini, dulu, mereka sekap untuk kebutuhan seks mereka dan kawan-kawan. Setelah mereka bosan, atau ada aktris yang baru masuk, baru-lah saya main film."