Alat Puruhito

Rabu 28-12-2022,08:00 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dahlan Iskan

Pasti direktur RS akan ”senang” bila para dokter itu ”loyal” bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian ”praktik” di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.

Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter ”loyal” hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan ”monoloyalitas” ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang ”hospital based” (lagi ribut juga masalah ini), karena ”dokter-guru-pendidik” bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.

Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas, hanya ada di kota besar. Sementara itu para “dokter pendidik” ini juga perlu “tambahan penghasilan” dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus ”monoloyal”. Terjadinya ”rebutan alat” juga karena sebab-sebab tersebut.

Semua itu menjadikan ”rumit” nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih ”RS Pemerintah”).

Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi ”RS Pendidikan Spesialis” seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya direktur RS, tapi yang ”kuasa” adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar “MARS” mungkin kurang tepat menyebut hal ini.

Mungkin kelak juga harus ada gelar “MAU” (Management Administrasi Universitas – Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai “milik” Rektor/PT.

Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.

Apalagi waktu saya masih muda dulu, sulit sekali memperoleh alat-alat untuk melaksanakan bedah jantung.

Untung saya tidak pernah punya jabatan struktural pimpinan di RSUD dr Soetomo. Di hari tua ini saya tetap mendidik agar tidak lupa dan tidak ”nganggur”.

Semoga Pak Dahlan yang saya kagumi, tetap sehat (saya salut betul karena saya tahu Anda punya ”hati” khusus yang dirawat dengan obat-obat hebat dan kesehatan yang prima bisa selalu berkelana ke mana-mana tanpa lelah, menikmati kuliner dan durian Musangking…).

Prof Dr dr Puruhito (*)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan, Edisi 28 Desember 2022: Rebutan Alat

John Prasetio

Terlihat jelas ada sedang upaya sabotase dan distorsi masalah pelayanan kesehatan. Masalah alat-alat di Rumah sakit tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah kebijakan pemerintah perihal peralihan sistem pendidikan profesi dari University Based kepada Hospital Based. Masalah utama dan pertama sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah terletak pada jumlah dokter sub-spesialis (Konsultan). Dengan meningkatkan jumlah dokter sub-spesialis (Konsultan) maka otomatis akan disertai dengan penambahan jumlah dokter spesialis dan dokter umum (general practioners). Sesuai dengan usulan dan masukan pada kolom Komentar yang ditujukan kepada Pemerintah c.q. Menteri Kesehatan pada artikel "Salah Kaprah Tentang Dokter" tanggal 13 Desember 2022, masalah utama pada regulasi & peraturan dibidang kesehatan terletak pada keterlibatan, kekuasaan, dan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada Asosiasi Profesi Kedokteran (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran, dokter-dokter, ormas-ormas, asosiasi farmasi, asosiasi rumah sakit, dll. Pemerintah menjadi tersandera sendiri karena ulah kebijakannya yang memberikan wewenang, dan kekuasaan kepada pihak-pihak non-pemerintah. Satu-satunya solusi adalah mereformasi besar-besarnya dgn mencabut seluruh kewenangan & kekuasaan pihak-pihak non-pemerintah. Organisasi profesi, para dokter, Konsil Kedokteran, Kolegium, dll dapat memberikan masukan dan saran kepada Pemerintah tetapi harus ditempatkan diluar sistem dari kepemerintahan.

EVMF

”Minggu ini akan kita keluarkan permenkes penggunaan alat-alat itu,” ujar Menkes Budi Sadikin kepada Disway. ”Prinsipnya, siapa pun yang punya kompetensi harus boleh menggunakan alat tersebut,” tambahnya. Bapak Menteri Kesehatan yang sepertinya "terlalu pintar" : masalah yang perlu diatasi BUKAN pengaturan penggunaan alat-alat kesehatan, TETAPI mesti diupayakan Kecukupan Peralatan Kesehatan !! Misalnya saja Cathlab yang sedang dipakai oleh Bagian Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) dengan antrian pasien yang saaaaangaaaaat panjaaaaaaaaaang, tentu saja akan kesulitan untuk berbagi penggunaan dengan Bagian Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Kardiovaskular (SpPD-KKV) ; apalagi "kepanikan" keluarga pasien yang terus mendesak untuk mendapatkan jadwal penanganan medik secepatnya. Lha kalau Bagian Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) sudah melakukan penjadwalan, sudah pasti mereka akan ngotot untuk menggunakan Cathlab tersebut, sebagai pertanggung-jawaban terhadap pasien !! Mengapa tidak disediakan 2 Cathlab untuk 2 bagian berbeda tersebut, yang sama-sama sangat membutuhkan alat vital tersebut !!

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler