Tanpa demokrasi, selama orde baru, Suharto telah menjadi "Sultanic Oligarch", dalam istilah Jeffrey Winters, nara sumber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam soal oligarki. Kebebasan hilang dan oligarki berkembang, membuat cita-cita kita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengalami kemunduran. Ketika kita memasuki era demokrasi, situasi sudah sangat terlambat. Jejaring konglomerasi sudah terlanjur sangat kuat, merasuk kemana-mana sektor bisnis dan sektor kekuasaan.
Dua puluh tahun lebih sejak kita berusaha membangun kehidupan negara berbasis demokrasi, kita memiliki masalah struktural, yakni kekuasaan yang memihak pada segelintir orang-orang kaya. Namun, peluang membangun demokrasi dengan tujuan keadilan sosial tetap berpulang pada kita semua. Bangsa kita harus meniru bangsa- bangsa maju agar mempertahankan demokrasi sebagai upaya memakmurkan bangsa dan mensejahterakan rakyat secara adil.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, Bu Hakim dan Pak Hakim,Apa yang saya bicarakan di atas terkesan bertele-tele dan di luar fakta persidangan. Namun, sesungguhnya persoalan saya di pengadilan ini adalah karena saya menjalankan hak demokratis saya, melakukan kritik sosial terkait dominasi kaum cukong atau oligarki, sebagimana tweet saya tanggal 12/9/20.
Ketika Mahfud MD mengkritik kekuasaan oligarki alias cukong, saya mendukung Mahfud MD dalam isu ini. Namun, anehnya pemerintah bukan berterima kasih pada saya, melainkan mengadili saya. Saya dituduh berbohong.
Empat hal penting yang dihasilkan dari Kesepakatan Reformasi 98 yaitu: 1. Partai politik yang komit terhadap konstituennya, 2. Media massa yg bebas, 3. "Civil Society" yang kuat; dan 4. "Rule of Law" atau supermasi hukum, yang berbasis pada human rights.
Partai Politik hasil reformasi '98 (Partai-partai Politik hasil pemilu pertama reformasi 98) sangat mencerminkan kehendak rakyat. DPR hasil pemilu ini kemudian lantang tidak menerima pertanggungjawaban Presdien Habibie tentang kebijakannya mengadakan referendum kepada rakyat Timor Timur. Memang suasana kebatinan rakyat pada waktu itu belum menghendaki Timor Timur lepas dari Indonesia. Saya sebagai tim dekat pada kekuasaan Habibie berusaha agar Habibie bisa bertahan dalam kekuasaan, dengan berbagai cara. Namun Habibie memberi nasihat "Being Presiden is not everything for me". Wow, itulah contoh dimana demokrasi memang membuat kekuasaan merupakan hal biasa saja. Beda dengan watak anti demokrasi atau feodalisme, menjadi presiden atau penguasa adalah segala-galanya.
Sikap Habibie itu membuat saya sampai sekarang tidak bernafsu untuk mencari-cari kekuasaan. Kalau saya mengkritik pemerintah bukan berarti saya ingin dapat bagian kekuasaan. Tercatat sudah dua petinggi istana negara pemerintahan Jokowi, menawarkan saya jabatan setara eselon satu, namun dengan lembut saya tolak. Karena memang saya bukan mengarah kesana.
Namun, mempertahankan pemilu dalam makna hakiki, kebebasan dan demokrasi, semakin lama semakin sulit. Karena kekuasaan yang ada semakin hari semakin berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan bagi kepentingan dan kelompoknya, ketimbang kepentingan demokrasi itu sendiri. Sehingga semakin lama demokrasi semakin pudar di Indonesia. Penangkapan anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum), pemecatan ketua KPU, skandal jual beli suara di KPU, skandal IT KPU dan berbagai hal lainnya belakangan ini, menjadi saksi bahwa penyelenggaraan pemilu tidak lagi berasas "fairness" dan keterbukaan.
Media massa yang tadinya independen serta parlemen yang gagah berani berhadapan dengan eksekutif, semakin lama semakin berkurang independensi dan kekuatannya. Ini juga sebuah kemunduran demokrasi.
Peluang kita saat ini adalah mendorong kekuatan Civil Society atau masyarakat madani. Apalagi saat ini era digital memberikan peluang untuk melakukan konsolidasi ide-ide dan gagasan. Di negara maju, misalnya Prancis, ketika Presiden Macron, berusaha mempengaruhi pemilik Facebook dan Google untuk memata-matai (Surveillance) atau meredam gerakan "Civil Society" (Yellow Jacket), "Big-tech" tersebut mengabaikannya. Ketika Trump mengancam Tweeter, malah Tweeter men delete account Tweeter Donald Trump.
Jika "Big-tech" di negara maju bersikap mendukung demokrasi, kemungkinan berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia. Ini membutuhkan komitmen kita bersama, apakah kehadiran media sosial dapat mendorong demokrasi atau mematikan demokrasi?
Yang Mulia Majelis Hakim Ketua dan Anggota,Uraian saya terkait "Big-tech" dan media sosial di atas berhubungan dengan tuduhan kejahatan terhadap saya di dunia media sosial Twitter. Jika UU Peraturan Hukum Pidana 1946 tidak mengenal Tweeter, maka memakai UU ini pada kasus saya sebenarnya sangatlah memilukan. Apalagi para JPU bertanya kepada para ahli yang hadir di persidangan "kapan sih UU No. 1 tahun 1946 ini digunakan?", "Apakah pasal 14 ayat 1 itu delik formil atau materil", tanya jaksa lagi ke ahli. Tidak ada satupun JPU yang pengalaman.
Namun, ketika menetapkan pada kasus saya, langsung masuk pada pasal 14 ayat 1. Bukan saja UU ini tidak layak digunakan, secara substansial, karena mengadopsi hukum militer Belanda, di mana saya seorang sipil, namun jaksa juga belum tahu menerapkan pasal-pasal itu. Bagaimana menarik benang merah konteks revolusi kemerdekaan kita tahun 1946-1948, yang masyarakatnya hidup tanpa media komunikasi yang cukup dengan sekarang jaman milenial penuh digitalisasi?
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, Bu Hakim dan Pak Hakim Anggota,Di tangan kalian yang mulia inilah Allah SWT memberikan kesempatan untuk bangsa ini tidak terpuruk lagi. Fakta-fakta persidangan sudah memperlihatkan saya hanyalah cendikiawan yang melakukan kritik membangun. Era kini, era Big Data ini, sangat gampang mengukur korelasi ataupun sebab akibat antara perbuatan yang dituduhkan dengan fakta.
Jumlah followers Tweeter saya hanya belasan ribu, yang jika dibandingkan dengan Susi Pudjiastuti dengan follower 2,4 juta atau Kaesang dengan follower 2,1 juta atau dengan Andi Arief dengan follower 249 ribu atau rata-rata influencer mempunyai follower di atas 100 ribu, sangatlah tidak masuk akal tweets saya mempunyai dampak stabilitas nasional.
Jika Yang Mulia menggunakan Google Trend untuk melihat pengaruh saya, pun akan ketahuan bahwa saya jauh dari tokoh yang berpengaruh. Apalagi menggerakkan demonstrasi se Indonesia. Apalagi mengorganisasikan demonstrasi rusuh, yang pasti membutuhkan rapat-rapat persiapan besar. Apalagi menuduh saya mempengaruhi kerusuhan padahal Badan Intelijen Negara sudah mengatakan bahwa yang rusuh adalah Anarko, bukan KAMI.