Mengkritisi bagi saya juga bukan berarti "zero sum game", alias satu menang dan satu kalah. Konsep masyarakat sipil adalah oposisi konstruktif. Memberikan masukan bagi pemerintah, khususnya jika menyangkut kepentingan bangsa. Untuk itulah ketika staf khusus Presiden Jokowi, seorang ekonom, suatu waktu ketika meminta keterlibatan saya dalam isu reformasi agraria, saya merespon positif. Begitu juga ketika dia memikirkan bagaimana agar sebuah lembaga perating internasional menaikkan tingkat "Investment grade" Indonesia, saya diajak berpartisipasi memikirkan itu, saya terlibat.
Saya juga beberapa kali ikut seminar/webinar dengan kelompok-kelompok strategis pendukung Jokowi, memberikan pandangan politik kebangsaan saya. Bagi saya tidak ada musuh abadi dalam demokrasi, seperti Prabowo versus Jokowi, bertarung selama bertahun- tahun, lalu kembali bersatu. Dalam demokrasi yang perlu dijaga adalah dialog, serta yang perlu ditentang adalah penangkapan lawan-lawan politik.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim dan Bu Hakim serta Pak Hakim Anggota,Jaksa Penuntut Umum mengaitkan juga adanya postingan WAG Deklarator KAMI yang seorang anggotanya, Abdullah Hehamahua, memposting usulan agar KAMI mendatangi Presiden JOKOWI memintanya turun tahta, jikalau demonstrasi seperti tanggal 8 Oktober 2020 berulang. Tentu saja postingan di WAG Deklarator KAMI steril dari politik kekuasaan, sehingga postingan Abdullah Hehamahua tidak satupun menanggapi. Sebagaimana ketika JPU menguraikan isi WAG Deklarator KAMI itu. Karena memang KAMI sama sekali tidak memikirkan agenda kekuasaan.
KAMI juga tidak menggerakkan demonstrasi besar-besaran terkait penolakan RUU Ciptaker sepanjang tahun 2020. Demonstrasi terkait RUU Ciptaker sudah berlangsung sebelum ada KAMI dan bahkan tetap berlangsung sampai saat ini. Para pendemo anti RUU Ciptaker tersebut adalah kelompok-kelompok terdampak langsung dari perubahan UU yang akan terjadi, seperti kaum buruh, tani, nelayan, mahasiswa, dan lainnya. Dari kampus UGM, di mana Presiden JOKOWI menjadi alumni, bahkan muncul teriakan agar rakyat melakukan pembangkangan sipil. Ide ini dilontarkan pakar hukum ternama UGM, Zainal Arifin Mochtar, yang juga pendukung utama Presiden JOKOWI sampai saat ini. Ide-ide perlawanan seperti itu tidak datang dari KAMI.
KAMI yang lahir tanggal 18 Agustus 2020, hanyalah melakukan dukungan atas gagasan- gagasan yang sudah berkembang, terkait penolakan RUU Ciptaker tersebut. Bukan pemicu. Dan KAMI, khususnya pada saat saya sebelum ditangkap, bukan pula organisasi mapan apalagi punya logistik. Jadi menuduh saya ataupun KAMI melakukan perbuatan keonaran sehingga menciptakan demo besar-besaran adalah kebohongan besar. Apalagi demonstrasi anarkis, yang mana deputi kepala BIN (Badan Intelijen Negara) sekali lagi sudah menjelaskan dipublik bahwa itu adalah ulah kelompok ANARKO. Apalagi sebulan setelah saya ditangkap malah pimpinan KAMI Gatot Nurmantyo memperoleh penghargaan negara, yakni Bintang Mahaputra dari presiden. (Bukankah seleksi dalam memperoleh Bintang Mahaputra mensyaratkan bebas dari kejahatan?)
Di dalam pengadilan saya, tidak ada pula saksi yang dihadirkan dari kelompok ANARKO itu untuk diperlihatkan kesaksiannya. Yang ada hanyalah seorang demonstran ikut- ikutan, yang terinspirasi dari Instagram, bukan melihat Tweeter, apalagi tweets saya.
Tuduhan pada saya berbohong dan menciptakan keonaran terkait dengan postingan saya tanggal 12 September 2020, yakni soal "Cukong", juga tidak ada urusannya dengan demonstrasi besar-besaran tanggal 8 Oktober 2020. Tweets tanggal 12/9/2020 atau dua bulan sebelum 8 Oktober itu adalah soal pilkada. Dalam Tweeter harus kita pahami perbincangan hangat selalu mengikuti trend isu.
Jika orang diskusi soal pilkada dan isunya cukong maka isu itu selesai ketika orang berdiskusi soal Omnibus Law RUU Ciptaker. Mengaitkan tweets isu pilkada dengan kerusuhan besar-besaran Omnibus Law RUU Ciptaker terlalu dipaksakan. Apalagi sudah saya jelaskan dipersidangan bahwa agenda anti-cukong dalam pilkada dan negara adalah agenda yang diusung oleh pemerintah sendiri, yakni Menkopolhukam RI. Saya hanya memperkuat isu positif yang dilakukan pemerintah. Makanya, saya bingung sebingung-bingungnya, kritik pemerintah ditangkap, mendukung sebuah sikap positif pemerintah juga ditangkap. Saya dituntut 6 tahun penjara dikaitkan dengan WAG KAMI, tapi pemimpin KAMI diberikan Bintang Mahaputra oleh presiden. Ya membingungkan sekali.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, Bapak Ramon Wahyudi, dan Hakim Anggota,Sekali lagi saya tegaskan, Demi Allah, menjelang bulan Suci Ramadhan ini, terkutuklah saya jika saya berbohong. Saya tidak mempunyai agenda mengganggu stabilitas nasional apalagi berpikir menurunkan kekuasaan pemerintah. Begitu pula KAMI, selama saya masih terlibat dahulu, tidak ada agenda kekuasaan. Bahwa, KAMI melakukan kritik- kritik keras terhadap pemerintah atas berbagai kebijakan, itu adalah kritik konstruktif. Semua bahan kritik diserahkan kepada lembaga-lembaga resmi negara, baik Presiden maupun legislatif. Hanya saja, karena didalam KAMI berkumpul doktor-doktor, professor- professor, beberapa mantan jenderal dan petinggi negara, membuat kajian KAMI begitu komplit dan presisi, sehingga bisa jadi "memedaskan kuping" pemerintah. Tapi, agenda lebih jauh tidak lah ada selain kritik dalam bingkai demokrasi, yang dilindungi konstitusi kita, UUD'45. Kami pejuang, kami menyayangi bangsa ini.
Jikalau saya dihukum karena isi Tweeter saya mengganggu atau memedaskan kuping pemerintah, saya meminta maaf kepada Rakyat Indonesia. Saya mencintai kalian semua. Namun, saya akan memilih hijrah ke negeri Belanda, jika demokrasi dan kebebasan hilang, seperti saya lakukan tahun 1993 hingga 1995. Saya nyaman hidup di sana dulu bersama istri saya tercinta. Saya balik ke Indonesia karena saya ingin berguna bagi bangsa saya. Hal buruk yang saya alami ini tentunya di luar jangkauan prediksi saya semula. Saya berekspresi sesuai dengan koridor demokrasi. Sebagai seorang dosen, saya selama ini mengajarkan mazhab kritis, berpikir dekonstruktif dan dialektik.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim dan Anggota,Terakhir kata, menjelang bulan suci Ramadhan ini, saya mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya atas berbagai kemungkinan kesalahan saya dalam interaksi kita di pengadilan ini. Saya percaya bulan suci Ramadhan diikat Allah semua para Iblis. Hal mana membuat hati kita suci dan bersih. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan hati bagi bapak/ibu hakim ketika memutuskan perkara saya ini atas namaNya. Dengan demikian saya akan menemukan keadilan yang seadil-adilnya dari ruang sidang ini. Tadinya saya berpikir Jaksa Penuntut Umum akan menuntut saya 6 bulan penjara, untuk membuat efek jera pada pengkritik pemerintah seperti saya. Namun, tuntutan jaksa 6 tahun ini belum bisa saya temukan rasionalitasnya, selama saya menjadi aktifis politik. Sekali lagi saya tidak ingin dijadikan kambing hitam oleh (sebagian) pemerintah untuk bertanggung jawab atas demonstrasi besar-besaran penolakan RUU Ciptaker.
Saya adalah seorang kepala rumah tangga, pencari nafkah tunggal, untuk istri dan 3 anak-anak saya yang masih sekolah/kuliah. Saya adalah dosen yang bertanggung jawab memajukan pendidikan dan kecerdasan anak-anak bangsa. Saya adalah orang yang dipenjara korban pelanggaran hak-hak asasi manusia jaman Suharto (sebagaimana dimasukkan Jokowi dalam Nawacita untuk Jaksa Agung membongkar kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lalu).
Mohon sudilah kiranya Bapak Ramon Wahyudi, Hakim Ketua, Bu Nur Ervianti Meliala, dan Pak Andi Imran Makkalau, Hakim Anggota, yang merupakan wakil Allah di muka bumi, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membebaskan saya dari semua tuntutan jaksa, dan memerintahkan kepada negara untuk memulihkan nama baik saya.
Wassalam. (ar)