Garrett dalam bukunya menyebutkan, semua pelaku kejahatan, awalnya (ditangkap polisi) tidak mengakui kejahatannya. Setelah didesak dan polisi punya bukti, kemudian tersangka mengaku.
Tapi, ketika pelaku kriminal didesak polisi, otomatis pelaku berpikir tentang cara mengeliminir tingkat kejahatan. Misal, biasanya polisi bertanya ke tersangka: "Sudah berapa kali kamu melakukan itu?" Lalu tersangka menjawab: "Baru kali ini, pak."
Itu yang disebut Garrett sebagai kontaminasi dalam pengakuan tersangka. Atau, pengakuan tersangka adalah hasil pemikiran untuk meringankan hukuman.
Padahal, umumnya polisi, ketika bertanya sudah punya data tentang tersangka. Pertanyaan digunakan untuk menguji kejujuran tersangka. Untuk memancing reaksi emosi dan tingkat kecerdasan penjahat.
Setelah polisi tahu bahwa penjahat bohong, maka semua pengakuan tersangka berikutnya, dianggap bohong. Walaupun bukan berarti kalau jawaban penjahat ternyata jujur, lalu semua pengakuan penjahat itu jujur. Tidak. Penjahat yang cerdas, tahu bahwa ia sedang dipancing polisi.
Semua penjahat, menurut buku itu, sudah memperhitungkan risiko jika ia ditangkap polisi, lengkap dengan pengakuan yang akan diberikan ke polisi. Jadi, sudah disiapkan.
Tersangka Ecky sudah dikenakan Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman hukumannya: Hukuman mati.
Lalu, apa guna mengungkap motif, jika terbukti itupembunuhan berencana?
Motif kejahatan selalu dijadikan pertimbangan majelis hakim dalam memutus suatu perkara. Itu sebab, Ecky dijerat Pasal 340 KUHP, juncto Pasal 338 KUHP, pembunuhan (tanpa perencanaan). Ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Penyedikan polisi, sebagai penyidikan tingkat pertama, sangat penting dalam perkara pidana. Berangkat dari situlah Jaksa Penuntut Umum mengeluarkan tuntutan hukuman. Akhirnya hakim memutuskan vonis.
Di perkara mutilasi Angela, publik sudah ngeri menyimak berita tentang kekejaman tersangka. Menghebohkan Indonesia. Membayangkan, jika suatu saat Ecky sudah bebas penjara, apakah kekejaman itu bakal terulang?
Tapi, polisi tetap harus bisa membuktikan bahwa motif mutilasi itu bukan asmara, seperti sudah dikatakan. Buktinya harus kuat, diuji di persidangan. (*)