"Bergurau keras secara fisik, biasa bagi laki. Di situlah mereka menjalin sahabat. Dalam damai. Tapi kalau niatnya menyakiti, itu melanggar batas," tegas Dent.
Pelajaran paling menarik dari buku Dent adalah ini: "Teman bukan milikmu. Sehingga kelak, pacar atau pasangan romantis, juga bukan milikmu. Mereka (pacar) mungkin memilihmu untuk menjalin hubungan. Dan, ya… pada saat itu pacar memperlakukanmu istimewa. Kamu adalah segalanya. Tapi, begitu hubungan itu bubar, pacar tidak berutang apa pun padamu."
Jadi, mengelola penolakan pertemanan di awal kehidupan (balita) dan membantu anak laki memahami 'kepemilikan', sangat penting. Jika pelajaran ini diberikan, maka laki ini setelah remaja dan dewasa kelak, sudah jago manajemen diri. Terhadap mantan pacar, ia tidak bakal menguntit, melecehkan, atau kekerasan fisik. Akhir hubungan teman adalah biasa. Teman datang dan pergi secara bebas. .
Juga, dilarang membuat teman menghamba, karena sering diberi sesuatu. Misalnya, permen. Karena jika itu dilakukan, maka anak yang ortunya miskin bakal menghamba pada anak yang ortunya kaya. Itu terjadi kalau, si anak kaya suka memberi permen pada anak miskin, dengan niat dalam hati untuk memanfaatkan.
Terakhir, jika suatu saat anak laki berkelahi lawan laki (karena keturunan pemburu mammoth) maka harus seimbang. Dalam hal usia dan bobot tubuh. Juga, sama-sama siap bertarung. Seperti dalam aturan pertandingan tinju. Dan, stop ketika lawan mengaku kalah. Seperti dalam duel Mixed Martial Arts (MMA) petarung yang menyerah melakukan tap. Memukul-pukul lantai atau badan lawan. Kode stop.
Itu tidak terjadi pada Mario versus David. Juga pada jutaan anak laki Indonesia yang membully teman dengan cara tidak seimbang. Tidak ksatria. Cuma, karena jutaan anak laki pembully dan yang dibully itu bukan 'anak siapa-siapa', maka lenyap bagai tertiup angin. Karena syarat utama keadilan jaman now adalah viral.
Pastinya, ortu Mario, terlebih David, sangat sedih sekarang. Segalanya tak seperti dulu lagi. Hancur-hancuran. Bisa jadi mereka sadar, bahwa mereka alpa mendidik anak secara benar dan beradab. Atau justru bermusuhan lebih gila lagi. (*)
Editor: Sugeng Irawan