Safari Nanjing

Senin 17-04-2023,03:01 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dahlan Iskan

Di meja-meja itulah jamaah akan berbuka puasa.

Di sebelah barat bangunan ada halaman terbuka kecil. Ada dua pohon besar. Ada dua meja yang juga dikelilingi kursi.

Kami pilih duduk di halaman itu. Akan berbuka di situ.

Lalu datanglah imam masjid ke halaman itu. Masih muda. Ia pakai semacam jas panjang warna hitam. Di bagian dadanya ada bendera Tiongkok. Mencolok. Rupanya itulah baju resmi imam masjid di Nanjing.

Di kepalanya diigalkan serban. Dengan ekor sepanjang punggung di bagian belakang kepala. "Assalamu'alaikum," katanya pada kami. Kami jawab salam itu dengan baik.

"Jadi satu saja," katanya dalam bahasa Mandarin. "Kumpul satu meja," tambahnya.

"Tapi kami tadi diminta terpisah antara yang laki dan perempuan," ujar Ike Erike mahasiswi asal Cibinong, Bogor. Ike, berjilbab, menjabat ketua mahasiswa Indonesia di Nanjing. Ada 150 mahasiswa kita di kota itu.

"Tidak usah terpisah. Boleh jadi satu meja," ujar sang Imam sambil minta para mahasiswi bergabung di meja mahasiswa.

Sepuluh menit sebelum waktu berbuka, kursi-kursi di seputar meja ruang bawah itu sudah penuh. Lalu Imam tersebut mengajar mereka untuk mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Arab. Agar ditirukan serentak dengan keras.

Misalnya kata Assalamu'alaikum. Diulangi sampai 10 kali. Lalu kata Waalaikum salam. Juga sepuluh kali. Ada lagi kata ashadualla ilaha illallah wa ashhadu. Kalimat itu diulang-ulang oleh para jamaah. Dengan suara keras. Banyak kali. Lalu lanjutan sahadat itu.

Ketika semua hafalan itu diajarkan, beberapa wanita berjilbab mengisi meja dengan kurma. Juga dengan buah stroberi menor-menor. Lalu minuman botol.

Itulah takjil yang bisa dimakan. Kami juga mulai makan di halaman belakang. Tanpa melihat agama kami.

Setelah itu semua naik ke lantai atas. Kecuali di antara kami yang bukan Islam. Saya lihat mulai banyak juga mahasiswa asing yang bergabung. Ada dari India. Bangladesh. Pakistan. Iraq.

Saya sudah terbiasa berjamaah dengan aliran mazhab Hanafi. Juga sudah biasa salat di masjid di berbagai kota di Tiongkok. Selalu ada yang azan di halaman masjid. Tanpa pengeras suara. Saat azan itu berkumandang imam sudah duduk di tempatnya. Demikian juga wakil imam. Sudah duduk baris di belakang imam.

Di Nanjing ini saya lihat ada tiga wakil imam. Dengan igal kepala yang sama. Tapi di antara tiga itu hanya satu yang bajunya persis baju imam. Seperti jas panjang dengan gambar bendera Tiongkok di dada. Di beberapa masjid lain, wakil imam itu sampai 6 orang.

Saya pun sudah biasa: ketika imam selesai membaca Al Fatihah tidak perlu mengucapkan ''amin'' dengan suara keras dan panjang. Cukup ''amin'' dengan lirih dan pendek. Saya selalu ingat zaman dulu. Di masjid Beijing. Begitu imam selesai membaca Al Fatihah saya sontak meneriakkan ''amin'' keras dan panjang. Ternyata saya sendirian melakukan itu.

Tags :
Kategori :

Terkait