"Besar Jakarta," jawabnya. Ia memang sudah sering ke Jakarta.
"Besar Wuhan," tukas saya.
Kami tidak ingin memperpanjang debat. Kami menikmati cahaya lampu yang seperti tidak mikir tarif listrik.
"Siapa yang membayar listriknya? Masing-masing pemilik gedung?" tanya saya.
"Bukan. Listriknya dibayar Pemda Wuhan," jawabnya.
"Siapa yang pasang lampunya?"
“Pemda Wuhan".
Ternyata yang penting semua pemilik gedung mengizinkan disorot lampu yang dikendalikan dari komputer sentral. Agar tata cahaya dan desain cahayanya tertata di seluruh kota. Alangkah indahnya.
"Sudah dekat pasar," kata si Mercy. "Di dekat lampu bang-jo sana itu," tambahnya.
Ternyata benar. Saya tidak bisa melihat apa-apa. Pagarnya tinggi. Rapat. Seperti dari bahan hardboard.
Bangunan di dalam pagar itu masih ada. Tapi tidak terlihat jelas. Gelap. Tidak berlampu. Kelihatannya hanya saya yang memperhatikan bekas lokasi pasar itu. Pengendara lain cuek. Lalu-lintas padat. Tidak ada pengemudi yang menengok ke pasar itu.
Pagi harinya, setelah berolahraga di pinggir air, saya minta diantar ke rumah sakit terkenal itu: yang dibangun hanya 10 hari itu. Sekalian meninggalkan Wuhan menuju stasiun kereta cepat.
Lokasi RS darurat ini sedikit di luar kota. Di dekat danau-danau besar. Wuhan memang ''kota seribu danau''. Wuhan adalah ibu kota provinsi Hubei. ''Hu'' adalah danau. ''Bei'' berarti utara.
Rumah sakit ini juga sudah tutup. Sudah lama. Rerumputan sudah tinggi. Saya pun hanya bisa keliling jalan raya di utara-barat-selatan-timur RS. Bangunan ini di atas tanah satu blok besar sendiri.
Di seberang baratnya lebih menarik. Banyak sekali bangunan apartemen tinggi. "Ini bekas wisma atlet olahraga militer," ujar temannya teman saya itu.
Sebelum ada Covid di pasar itu, memang ada semacam kejuaraan dunia olahraga militer. Atlet militer Amerika juga tinggal di situ. Pun dari negara lain.