Pak Lurah

Sabtu 19-08-2023,13:52 WIB
Reporter : amegid2
Editor : amegid2

IYA, mengawali kerja awal tahun 2008, saya dihadapkan pada persoalan beberapa desa yang akan melaksanakan Pilkades, pemilihan kepala desa. Sebagai pejabat baru yang belum paham benar tentang penyelenggaraan Pilkades, dan fungsi kepala desa itu apa dan bagaimana, saya berusaha untuk lebih memahami mekanisme pemerintahan desa.

Terus terang saya merasa heran, sebuah wilayah dalam sistem pemerintahan kota, kok ada desa. Secara diam-diam saya mencoba cari tahu dengan cara nguping sana nguping sini pada berbagai pihak, termasuk masukan dari pejabat yang ada di lingkungan Pemkot Batu. Hasil dari mengumpulkan informasi itu saya menarik kesimpulan, seharusnya pemerintahan desa di wilayah pemerintahan kota kurang tepat. Artinya, semua desa beralih menjadi kelurahan, yang semuanya dikendalikan di bawah pemerintahan kota. Dan nantinya, setelah desa berubah menjadi kelurahan, untuk penempatan Lurah akan menjadi hak prerogatif Walikota. Menurut saya, seharusnya begitu.

Persoalan ini kelihatannya sepele, tapi menurut saya menjadi promblematik. Sebagai orang yang baru mendapat tugas di pemerintahan, dan sangat minim ilmu birokrasi, apalagi peraturan tata pemerintahan, ditambah lagi dengan budaya masyarakat desa yang sebagaian besar adalah petani, problem ini terasa cukup membebani pikiran saya.

Untuk itu saya harus turun ke bawah, mendengar langsung dari warga di 20 desa yang ada di Kota Batu saat itu, apa kira-kira keinginan mereka tentang hal ini. Ibaratnya, dengan menyerap aspirasi kami akan jagongan sambil minum kopi.

Bertemu dan jagongan dengan warga pada malam hari, ketika itu sudah mulai saya lakukan hampir setiap malam. Warga berkumpul di rumah salah seorang dari mereka, datang dengan jaket tebal dan kemul sarung, kopiah lusuh, dengan tampilan sehari-hari jauh dari kesan rapi dan resmi. Kopi hitam kental dan rokok kretek, tidak lupa melengkapi sajian gorengan ketela panas yang baru diangkat dari wajan.

Setelah lengkap mengumpulkan aspirasi warga dari 20 desa dalam beberapa pekan, saya mengetahui, intinya sebagian besar dari mereka ingin status Desa diubah jadi Kelurahan. Mengapa? Agar dana dari Pemkot bisa langsung digunakan untuk pembangunan wilayah, misalnya untuk membuat irigasi pertanian yang bagus, untuk penyediaan bibit serta memperbaiki sarana pendidikan dan kesehatan, yang kesemuanya bisa langsung dinikmati oleh warga dengan prosedur yang tidak berbelit-belit.

Ternyata, menurut warga, sistem sistem pemerintahan desa dianggap sebagai momok oleh mereka. Bagi mereka, sistem yang diberlakukan sekarang ini dianggap menghambat upaya menyejahterakan rakyat.

Secepatnya, saat itu, saya kemudian ambil keputusan, anggaran dana desa dinaikkan tiga kali lipat dari sebelumnya sekitar Rp 200 juta tiap tahun. Semua jalan desa dibangun lengkap dengan lampu jalan. Bangunan sekolah direhab, juga Puskesmas, yang semuanya menjadi prioritas utama dalam program Pemkot. Sebuah kesimpulan budaya, dengan tetap mempertahankan rasa desa namun penataan kehidupan yang lebih maju dengan melompat, bukan hanya lari pagi.

Budaya dan semarak saat dilakukan pemilihan Kepala Desa tetap dipertahankan, misalnya berlangsung meriah sejak coblosan sampai penghitungan suara berahkir. Semua warga tumplek blek, euforianya melebihi coblosan kepala daerah atau legislatif. Meskipun pernak pernik dalam Pilkades tetap ada dengan berbagai macam cerita, namun yang terjadi dan terlihat tetap berlangsung secara demokratis, aman dan guyub. Cerita-cerita lucu bermunculan, bahkan merebak cerita kalau sehari sebelum coblosan, Pak Wali keliling menemui calon kades. "Sing ditekani nang omahe paling terakhir, sesuk sesuk pasti menang. Iku cawe-cawene Pak Wali.”

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler