Nekat Operasi Meski Fifty-Fifty

Nekat Operasi Meski Fifty-Fifty

Dokter Spesialis Bedah Jantung RSUD Soetomo dr Heru Subroto mengirim mahasiswanya ke Pesantren JeHa. Mereka diminta mendoakan ustazah Khabibah yang berhadapan dengan momen antara hidup dan mati. Jantungnya akan dibedah untuk menyembuhkan kebocoran yang diderita sejak belia.

***

AMEG - Bulir-bulir bening sudah mengambang di kelopak Khabibah sore itu (11/5). Suaranyi semakin parau ketika menceritakan pertemuannya dengan Dokter Heru, empat tahun silam. Semua air matanyi tumpah dalam sekali kedipan.

Dia buka kacamata, lalu mengusap pipi dan wajah dengan kain kerudungnyi. Santriwati JeHa Fitri Yani Romadhona yang ikut mendengar Khabibah bercerita, langsung berdiri dari kursi plastiknya. Dia mengambil tempat tisu yang tergeletak di lemari kaca toko kelontong milik Khabibah.

“Bu, apa yang menguatkan ibu untuk operasi jantung? Saya hanya ingin membesarkan anak dan terus mengajar ngaji, Dok,” kata Khabibah terbata-bata. Ia ambil napas dalam-dalam dan mengatur napas agar bisa meneruskan kisahnya.

Kala itu sang putri, Aura Khaila Qolby, masih bayi. Dia baru mendapatkan amanah seorang anak, di usia 35 tahun melalui program bayi tabung. Penyakit jantung bocornya itu justru muncul setelah amanah itu diberikan Tuhan. Ibu mana yang tidak sedih jika diberi cobaan hidup seperti itu.

Sudah lima dokter didatangi. Semuanya angkat tangan. Operasi jantung bocor sangat berisiko untuk pasien yang sudah dewasa. Idealnya penyakit itu sudah ditangani sebelum menginjak usia 20 tahun. Pada tahun 2017 usianyi sudah menginjak 37 tahun. Semakin lama ditunda, semakin berbahaya. Masalahnya sudah banyak dokter yang angkat tangan.

Khabibah menata barang jualan di toko miliknya di Jalan Putat Jaya, Surabaya.(Foto: Eko-Disway)

Dokter Heru adalah pakar jantung kelima yang didatangi. Ia sempat mengatakan bahwa penyakitnya sudah telat. Namun, kemungkinan itu selalu ada apabila sang pasien memiliki keberanian. “Katanya 50 persen meninggal, 50 persen saya hidup, jika saya dioperasi,” ujarnyi.

Dokter Heru mulai menggali kisah hidup Khabibah di pertemuan pertama mereka. Dia ceritakan bahwa ia tidak bekerja. Hanya jadi ibu rumah tangga yang punya toko di depan rumah. Namun setiap hari ia mengajar mengaji di Pesantren JeHa yang didirikan oleh keluarga besarnyi.

Begitu tahu dia adalah guru ngaji, dokter Heru langsung tersentuh. Ia akhirnya menemukan alasan kuat agar Khabibah diberi nyawa “kedua”. Khabibah diminta berjanji akan untuk tetap mengajar ngaji setelah operasi berhasil. Dokter Heru yang sangat religius itu terus menerus meminta Khabibah mengingat janji itu.

Tak lama setelah pertemuan itu, Dokter yang juga dosen itu lalu meminta muridnya mendatangi JeHa. Khabibah memberikan nomor telepon adik dan sepupunyi yang merupakan pendiri JeHa. Yakni M. Nasih dan M. Rofi’uddin.

Ternyata dokter-dokter muda itu benar-benar mendatangi JeHa seseuai arahan Heru. Mereka ceritakan penyakit yang dialami Ustazah Khabibah tersebut. Para santri diminta terus mengirim doa setiap hari sebelum operasi digelar.

Pertengahan April, Khabibah sudah mulai masuk ruang VIP Graha Amerta untuk persiapan operasi. Di rumah sakit itu, dia tidak diinfus atau mendapat perawatan khusus. Dia hanya menunggu hari penentuan yang belum tahu kapan.

Dokter Heru beberapa kali mengulang pertanyaan yang sama ketika mengecek kondisi kesehatannyi: Apakah Khabibah sudah siap dan ikhlas dengan segala takdir yang akan dia hadapi nanti? Khabibah selalu menjawab dengan mantab. “Bismilah, Dok, maju terus,” ujarnyi.

Setelah dihitung-hitung total biayanya Rp 250 juta. Khabibah menjadi peserta BPJS. Bisa gratis total, tapi antrean operasinya sampai setahun. Kalau mau lebih cepat, dia harus naik kelas jadi VIP. Cuma, pasien harus patungan dengan BPJS.  “Kami bayar 60 persen. Sisanya BPJS,” kata Khabibah.

Sumber: