15 dari 31 Kecamatan Tanpa SMA
AMEG - Aliansi Pelajar Surabaya (APS) menggelar aksi protes di depan Gedung Negara Grahadi kemarin (2/6). Mereka menolak sistem zonasi yang merugikan banyak pihak sejak 2017 itu. Yang tidak bisa hadir juga ikut mendukung dari rumah masing-masing.
Anggota APS Nadhifa Nakeisha Mutiara ikut mendukung teman-temannya dari depan rumahnya di Pakis Wetan. Ia menulis kalimat protes di selembar kertas putih, lalu diunggah ke Instagram. Tertulis: Rumahku Jauh Kak! Negeri Mana yang Mau Menerimaku?
”Saya tulis itu karena banyak sekali keluhan yang masuk ke APS,” kata Keisha kemarin. Aturan zonasi memang menguntungkan mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah. Sementara itu, rumah mereka yang jauh hanya bisa gigit jari.
Banyak yang mendukung aksi dari rumah itu. Intinya, mereka semua ingin PPDB dengan sistem zonasi dihentikan sejak tahun ini.
Ketua APS Mirza Akmal Putra ikut aksi turun ke jalan di Balai Kota Surabaya, Kantor Dinas Pendidikan Jatim, dan depan Gedung Negara Grahadi. Ia mencatat, ada lebih dari 3 ribu siswa yang terhambat masuk SMA/SMK negeri gara-gara sistem zonasi itu. ”Di Surabaya ada berapa kecamatan yang belum punya SMA Negeri?” tanya Mirza.
Ada 15 dari 31 kecamatan yang belum punya SMA negeri. Yakni, Asemrowo, Bubutan, Dukuh Pakis, Gubeng, Gunung Anyar, Karang Pilang, Krembangan, Mulyorejo, Pabean Cantikan, Pakal, Sambikerep, Simokerto, Sukomanunggal, Tegalsari, dan Wonokromo.
Sementara itu, di Kecamatan Genteng justru ada SMAN 1, 2, 5, 6, dan 7. Ketimpangan itu sudah dikeluhkan sejak kali pertama PPDB sistem zonasi dicetuskan.
Surabaya sangat tidak cocok dengan sistem baru itu. Sebab, SMAN dibangun terpusat di tengah kota. Dikenal dengan SMA kompleks. Yang rumahnya ada di pinggiran kota merasa disingkirkan dengan sistem tersebut.
Mirza mempertanyakan pembangunan SMA baru untuk pemerataan. Nyatanya, sejak 2017, belum ada penambahan SMA di Surabaya. ”Mana ada?” lanjutnya.
Sistem zonasi diberlakukan untuk memeratakan pendidikan. Dikonsep sejak Mendikbud Muhadjir Effendy pada 2016 dan dilanjutkan Mendikbud Nadiem Makarim sampai sekarang.
Semangatnya adalah menghapus sekolah favorit. Semua sekolah harus merata. Siswa pintar tidak boleh mengelompok di satu sekolah saja.
Sistem sekolah dekat rumah juga diharapkan bisa mengurai kemacetan. Mengurangi beban wali murid terkait transportasi anaknya.
Sayang, semangat itu tidak bisa dilakukan karena situasi di Surabaya tidak memungkinkan. Yang ditemukan justru: siswa yang rumahnya dekat sekolah malas belajar untuk berkompetisi di jalur prestasi. Sementara itu, yang rumahnya jauh harus belajar keras agar bisa masuk lewat jalur prestasi rapor yang kuotanya cuma 25 persen.
Harian Disway berusaha mengonfirmasi tuntutan APS ke Kadispendik Jatim Wahid Wahyudi. Namun, ia tidak ada di kantornya. ”Sedang mendampingi gubernur,” ujarnya saat dihubungi melalui WhatsApp. (*)
Sumber: