Perang Gerilya Teroris Papua
Akibat teror, penduduk Ilaga mengungsi. Meski para teroris sesuku, mereka tak pandang suku, membunuh. Sampai Jumat malam, suasana di Ilaga mencekam.
Dalam empat tahun terakhir, teroris Papua sudah 66 kali menyerang warga sipil dan aparat keamanan.
Perinciannya, pada 2017 terdapat 22 kali penembakan. Tahun 2018, 12 kali. Tahun 2019, 4 kali. Tahun 2020, 25 kali.
Tahun 2021, 3 kali. Yakni, serangan yang menewaskan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha. Ia gugur ditembak KKB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (25/4).
Dua hari berselang, Selasa (27/4), anggota Brimob Bharada Komang gugur dalam kontak senjata dengan KKB di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.
Dua anggota Polri lainnya, Muhammad Syaifiddin, anggota Polres Mimika, tertembak di perut dan Ipda Anton Tonapa tertembak di punggung.
Tampak, aparat kesulitan untuk menumpas teroris Papua. Teror pun terus berlangsung.
Apa sulitnya?
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyebut kesulitan ada dua. Pertama, medan di Papua. Hutan belantara dan pegunungan.
"Itu membutuhkan sumber daya yang harus maksimal," kata Rusdi kepada wartawan di Mabes Polri Senin (26/4).
Polri dan TNI kurang terlatih perang hutan di pegunungan. Sebagian aparat, khususnya TNI, terlatih perang di hutan, tapi kurang menguasai medan di Papua.
Sebaliknya, teroris Papua lahir dan dibesarkan di situ.
Kedua, teroris menyamar jadi penduduk setempat. Sebenarnya bukan menyamar. Mereka lahir dan dibesarkan di situ, tapi mereka membaur ke warga yang bukan teroris.
Aparat kesulitan membedakan, mana teroris mana yang bukan. Wajah, warna kulit, rambut mereka sama.
Warga yang disusupi teroris tidak berani melapor. Sebab, mereka diancam teroris. Ancaman bukan sekadar gertakan. Teroris dengan entengnya membunuhi warga.
Ketika aparat gabungan patroli masuk hutan, para teroris menyusup ke rumah warga. "Mereka masuk ke penduduk. Menyamar jadi penduduk," beber Rusdi.
Sumber: