Lontong Kikil Sapi Krian Bukan Kikil Biasa, Mau Coba Rasanya?
Setelah puas mencicipi klan kikil sapi Sepanjang, saya bergegas mencicipi klan kikil sapi Krian. Itu saya lanjutkan dalam perjalanan pulang ke Mojosari, Mojokerto dari Surabaya, terus ke arah Sukodono. Nah di daerah itu, lontong kikil sapi klan Krian berpenampilan berbeda.
***
AMEG - Saya lihat di pinggir jalan ada penjual lontong kikil sapi dengan memakai motor dan rombong yang diusungnya di belakang motor. Rombong itu berisikan panci tinggi. Sekilas mirip penjual bakso. Namun cara menjual yang demikian itu sama persis jika menjajakannya di warung. Hampir sama. Menggunakan panci tinggi seperti penjual bakso.
Kalau mau diamati, lontong kikil sapi di daerah ini beda penampilan pancinya dengan lontong kikil sapi klan Sepanjang. Pancinya berbahan dasar aluminium. Bukan tidak food grade lho. Asalkan tidak digunakan memasak pada suhu di atas 150 derajat Celcius ya dijamin aman. Aluminium jelas berkarat.
Unsur kimia Al akan mudah berkarat menjadi Al2O3 dan yang aneh karat ini akan melindungi logam di dalamnya sehingga tidak akan keropos. Karat ini aman asalkan digunakan seperti aturan tadi.
Dengan penampilan panci yang beda ini, apakah ada perbedaan rasa? Mari kita cicipi dulu! Cara penyajian ternyata pun berbeda. Lontong diiris dan dimasukkan ke dalam mangkuk. Setelah itu dari wadah dikeluarkan kikil dingin yang diiris kecil. Lalu dimasukkan ke dalam mangkuk juga.
Penjualnya mengaduk isi panic. Ternyata kuahnya berbeda dengan klan Sepanjang yang merah memikat. Kali ini kuahnya bewarna kuning kecokelatan. Lumayan pekat. ”Surrr.” Kuah dimasukkan ke dalam mangkuk berisi lontong dan kikil irisan tadi.
Rasanya ya jelas berbeda dong. Bumbunya bukan bumbu soto seperti lontong kikil sapi klan Sepanjang. Lontong kikil sapi ini terasa di antara bumbu soto dan bumbu gule.
Seperti apa ya? Ya bayangkan saja soto menggunakan bumbu dasar putih yaitu bawang putih, bawang merah, ketumbar, jahe, dan lada. Ditambahkan kunyit, serai serta daun jeruk purut. Sedangkan gule tetap Bumbu dasar putih tapi dengan penambahan rempah-rempah mulai pekak, adas, kayu manis, kapulaga, lada hitam, pala, cengkih dan jintan.
Dari cerita penjualnya, bumbunya sederhana kok. Tanpa membuat bumbu khusus. Melainkan hanya membeli bumbu soto dan gule instan. Lalu dicampur dalam panci. Cuma, jumlah perbandingan antara bumbu soto dan bumbu gule sengaja dirahasiakan penjual. Tentu saja tambahan bumbu lain yang tak diungkap.
Tak masalah, Sebab saya hanya fokus mencoba kikil yang sudah diiris dan terendam kuah kuning yang masih panas. Wah berbeda lagi ternyata sensasinya. Jika lontong kikil sapi klan Sepanjang direndam terus dalam kuah yang dipanaskan sehingga kikil lembut dan lunak, lontong kikil sapi klan Krian ini teksturnya beda karena saat digigit terasa ada perlawanan terhadap gigi. ”Kresss!” Jika digigit kikil akan terasa renyah teksturnya.
Lontong kikil sapi daerah ini ternyata berasal dari daerah Krian. Selera orang daerah ini adalah kikil yang tidak lunak. Jadi, tekstur keras ini didapatkan dari kikil yang tidak terendam lama di kuah panas. Setelah perebusan beberapa saat, kikil ditiriskan.
Ada juga yang sudah dipotong kecil dan ditaruh pada sarangan panci sehingga kikil yang sudah dipotong terjaga pada suhu panas tetapi tidak akan melunak karena hanua diuapi saja. Mirip dengan teknik penjual bakso.
Setelah menghabiskan kikil, biasanya pelanggan baru menyesal. Sebab baru diberi informasi bahwa ada menu selain kikil yaitu kepala sapi. Jika kikil berasal dari kaki sapi. Kaki sapi ini dibakar rambutnya kemudian dicuci dan direbus untuk memunculkan baunya harum segar.
Merebus kikil ini jelas memunculkan biaya untuk energi pemanasan yang agak lama. Hasil akhir adalah biaya produksi mahal sehingga kikil selalu dianggap makanan menengah ke atas walaupun di kaki lima juga banyak dijajakan.
Sumber: