Permasalahan Kartu Tani Kota Batu Mulai Terurai
AMEG - Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kota Batu mendata 15 ribu petani pemilik lahan, bukan buruh. Tapi, hingga 2021 baru ada delapan ribu petani yang memiliki Kartu Tani.
Kepala DPKP, Sugeng Pramono, menjelaskan, ada sejumlah kendala dan permasalahan yang menyebabkan petani belum memiliki kartu, mulai belum tercetak, belum terdistribusi, tidak dapat digunakan, dan petani tidak masuk anggota kelompok tani (Poktan).
"Kartu yang tidak dapat digunakan biasanya mengalami gagal inject pada EDC (electronic data capture), NIK invalid, belum aktivasi, gagal inject e-wallet, lupa PIN, kartu tani atau buku rekening hilang dan mengalami gangguan sinyal atau jaringan," urai Sugeng kepada ameg.id, Senin (21/6/21).
Untuk mengatasi itu, DPKP telah menyiapkan form yang dapat diisi manual saat hendak mengambil pupuk bersubsidi. Sehingga para petani yang telah terdaftar bisa melakukan penebusan pupuk bersubsidi.
Dia merinci, dari 8524 petani terdaftar, baru 5.760 kartu tani yang tercetak, atau 67,6 persen. Sisanya, sebanyak 2.764 kartu tani, belum tercetak. Informasi terbaru, ada 1.700 sudah tercetak namun belum didistribusikan.
"Kami menargetkan 2021 ini ada 1.500-2.000 petani bisa memiliki kartu tani," ujarnya.
Sementara itu, terkait RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), Sugeng mengatakan, pihaknya telah melakukan pendampingan hingga tingkat RT/RW.
"Tahun ini tidak semua yang diusulkan dalam RDKK dipenuhi pemerintah pusat. Dari 21 juta ton pupuk bersubsidi, hanya disetujui 9 juta ton untuk seluruh Indonesia," ungkapnya.
Dia juga menjelaskan, seringnya terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi karena ada sejumlah petani mengambil jatah secara langsung dalam satu waktu.
"Para petani yang terdaftar dalam kartu tani memiliki jatah pupuk bersubsidi dalam satu tahun. Seharusnya diambil berangsur setiap musim tanam. Namun kebanyakan mengambil pupuk dalam satu waktu, sehingga petani lainnya tidak kebagian dan jadi langka," katanya.
Selain itu, kelangkaan pupuk bersubsidi juga disebabkan keterlambatan distributor meminta alokasi pupuk. "Seharusnya, begitu melihat stok pupuk mulai menipis, satu minggu sebelumnya sudah mengajukan. Kebanyakan baru mengajukan ketika pupuk habis, hingga terjadi kelangkaan," papar Sugeng.
Untuk mengatasi keterlambatan pupuk bersubsidi, agar pengeluaran petani tidak besar, pihaknya juga melatih pembuatan pupuk organik, baik padat maupun cair.
"Bahan bakunya kami siapkan, begitu juga rumah kompos dan alat untuk pengolahan pupuk organiknya. Kami juga menghubungi DLH agar kompos di TPA Tlekung bisa kami manfaatkan," jelasnya.
Sayangnya, pihak DLH belum bisa mengalokasikan kompos TPA Tlekung, lantaran pihak DLH juga butuh untuk memupuk pohon yang ada di taman-taman Kota Batu.
Sumber: