Vaksin Berpikir Simple

Vaksin Berpikir Simple

Dan yang terpenting: Kebijakannya berdasarkan rasa percaya kepada sains (ilmu pengetahuan). Bukan kebijakan yang ganti-ganti karena menyikapi apa yang sedang ramai di sosmed.

Setelah divaksin masih bisa positif? Iya. Tidak perlu heboh gaduh. Yang penting tidak sampai sakit parah, tidak sampai masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal. Bukankah itu tujuan utama vaksin? Bukan untuk tidak positif, tapi untuk mengurangi atau menghilangkan risiko terburuknya!

Setelah divaksin bisa demam dan tidak enak badan? Jangan dihindari. Saya melihat promo vaksinasi di sana. Seorang dokter berbicara: "Kalau Anda demam setelah divaksin, Anda seharusnya senang. Itu tandanya vaksinnya bekerja."

Tidak seperti kita, yang seolah inginnya divaksin air saja supaya tidak sakit sama sekali.

Masih ada efek samping dari vaksin tertentu? Jangan heboh. Satu dari satu juta. Harus bisa berpikir sangat global. Dampak baiknya masih jauuuuuh lebih baik dari risikonya. 

Mohon maaf. Saya memang lagi sering geleng-geleng kepala baca berita-berita hebohnya pandemi di negeri kita tercinta ini. Hal-hal kecil dihebohkan luar biasa, sehingga tidak ada lagi yang memperhatikan secara holistik.

Energi lebih capek ngurusi yang kecil-kecil, daripada memikirkan bagaimana yang paling utama nanti (mengakhiri pandemi ini). Ya itu tadi, kebijakan jadi dibuat berdasarkan reaksi sosmed, bukan berdasarkan prinsip kebaikan, apalagi sains. 

Sekali lagi mohon maaf.

Sekarang saya sadar betul, siapa saja bisa sekolah setinggi langit untuk bisa memikirkan hal-hal paling rumit.

Sayangnya, yang kita butuhkan mungkin justru sekolah untuk berpikir simple. Atau malah vaksin yang bisa membuat masyarakat kita lebih simple... (*)

Sumber: