Vaksin Booster
Kita kelihatannya akan terus bergantung ke vaksin apa saja. Dari mana saja. Asal tidak dari negeri sendiri.
Saya begitu iri melihat foto yang disiarkan resmi kemarin: Ayatollah Ali Khamenei menjalani vaksinasi dengan vaksin produk Iran sendiri.
Nama vaksinnya: Baraka. Dari bahasa Parsi tapi familiar di telinga siapa saja. Mirip bahasa Arab. Atau bahasa Indonesia.
Baraka berarti berkah atau berkat.
Efikasinya, menurut klaim mereka, jauh lebih tinggi dari Sinovac: 85 persen.
Kelebihan Sinovac adalah: lahir lebih dulu. Bahkan Sinovac lahir sebelum ada vaksin Covid yang mana pun. Sinovac juga diizinkan lebih dulu. Secara darurat. Izin dari WHO-nya pun baru keluar setelah jutaan manusia memakainya.
Vaksin Baraka itu menggunakan prinsip mirip dengan Sinovac: virus yang dilemahkan.
Yang melahirkan Baraka adalah seorang ilmuwan wanita Iran. Usia: 74 tahun. Nama: Prof Dr Minoo Mohraz. Ia peneliti senior HIV/AIDS dan penyakit infeksi dari Teheran University –almamaternyi sendiri. Ia profesor emeritus.
Hasil riset masa lalunyi telah melahirkan obat anti HIV. Namanya: IMOD. Itu hasil ramuan dari tujuh tanaman asli Iran.
Media di sana tidak menyebutkan jenis tanaman apa saja yang tujuh itu.
Sebelum menemukan Baraka, Iran mendapat jatah vaksin lewat Covavax: Sinopharm dari Tiongkok dan Astra Zeneca dari Inggris. Iran memang punya hubungan intim dengan Tiongkok.
Kita sendiri semoga masih punya harapan: vaksin Covid dari Universitas Airlangga Surabaya. Yang menurut observasi saya berada di paling depan –kalau punya dana.
Tentu Unair sulit mendapat dana yang cukup. Apalagi kelembagaan bidang riset baru saja ditata: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mungkin BRIN masih sibuk bagaimana bisa membeli meja kursi.
Saya sebenarnya mau diajak menggalang dana swasta untuk mendorong Unair. Tapi saya juga ragu apakah dapat dukungan birokrasi.
Kini masih begitu banyak hambatan yang dihadapi pengusaha. UU Cipta Kerja kelihatannya begitu lahir langsung mati di lapangan. (*)
Sumber: