Pintu
Penjual cilok itu kemudian bercerita. Sekali jualan, modalnya sekitar Rp 300 ribu. Kalau habis, bisa menghasilkan Rp 100 ribu. Tapi penghasilan bersih itu masih harus dikurangi untuk bayar cicilan. Lho, punya pinjaman ke bank, tanya saya.
“Iya, untuk modal jualan ini saya pinjam ke bank titil,” jawabnya, dalam bahasa Jawa.
Bank titil adalah praktik rentenir yang sangat mencekik nasabah. Kalau nasabah pinjam Rp 300 ribu, dia terimanya cuma Rp 240 ribu. Sedangkan cicilannya sehari Rp 30 ribu, diangsur selama 15 hari. Ya Allah….
Pulang dari alon-alon, saya segera menyusun draft membuat program. Namanya program ‘Pintu’. Yaitu membentuk semacam koperasi di tingkat RW. Masing-masing RW mendapat bantuan modal sebesar Rp 10 juta, untuk dipinjamkan kepada warga yang membutuhkan. Tidak boleh ada lagi warga yang pinjam pada bank titil.
Koperasi di tingkat RW itu tidak benar-benar menggunakan manajemen koperasi yang bagi warga tentu dianggap ribet. Tetapi menggunakan manajemen kekeluargaan, yang sederhana saja, tidak ribet. Manajemen dari rumah ke rumah, dari tetangga ke tetangga, karena itulah saya menyebutnya sebagai manajemen ‘pintu’.
Manajemen ini, intinya memberdayakan ekonomi wirausaha sekaligus memberi edukasi manajemen secara sederhana, yang bisa dilakukan oleh masyarakat kalangan bawah.
Sesungguhnya kita harus bisa melihat apa yang ada di balik pintu rumah setiap warga. Dengan demikian kita dapat melihat apa sebenarnya yang mereka butuhkan. Kita yang berada di luar pintu lantas datang mengulurkan tangan, memberi mereka bantuan.
Ini sekelumit cerita tentang pintu, yang bisa dibuka dan ditutup. Buka dan tutup, makna filosofinya adalah ‘tepo sliro’.
(Sahabat ER, Semarang 9 Februari 2022)
Sumber: