Yafira 1.5
Baru di musim kemarau, petani justru bisa menanam padi.
Tambak di kawasan Turi ini khas: tambak hybrid. Ikan dipelihara bersama dengan udang. Udangnya pun sudah udang masa kini: udang vaname. Yang lebih tahan penyakit.
Tentu banyak parit di kawasan ini, dengan jembatannya yang tinggi. Sesekali terdengar bunyi bagian bawah mobil memukul beton jembatan.
Tambak, desa, tambak, desa.
Silih berganti. Ini tambak tradisional. Banyak pohon pisang di tanggul-tanggul tambak itu.
Begitu masuk desa Keben saya terpana: terlihat ada gedung modern yang masih baru. Berarti itulah gedung tinggi yang mengundang saya.
Saya berhenti mendadak di jalan sempit itu. Bagus sekali kalau bisa memotret gedung tersebut dari kejauhan: dengan latar depan rumah pedesaan dan air tambak. Terasa kontras sekali: tradisional dan modern jadi satu.
Dari jalan kecil ini saya harus belok kanan –ke jalan menurun yang lebih kecil. Lalu belok kanan lagi. Sampailah di gedung itu: Gedung Yafira 1.5.
Itulah gedung perusahaan marketplace, internet service provider, dan crypto PT Yafira Digital Technology. Saya diminta datang ke situ. Dan itulah yang membuat saya mau ke desa itu: sekalian melihat bagaimana perusahaan digital didirikan di sebuah desa tambak di pelosok Lamongan.
Betapa kontrasnya.
Tapi itulah bukti senyatanya. Zaman baru tidak membedakan kota dan desa.
Perusahaan digital ini didirikan warga desa itu: Jack. Umur 31 tahun.
Jack adalah alumnus SMK Pondok Pesantren Darul Ulum. Itulah satu dari 4 pondok ''bintang sembilan'' di Jombang.
Ayah Jack petani tambak. Luas tambaknya hanya 4.000 meter. Jack tidak sampai hati minta uang ke orang tua untuk kuliah. Begitu tamat SMK ia pilih merantau ke Jakarta. Kerja apa saja. Terutama yang terkait dengan pengembangan website dan software.
Setelah 12 tahun di Jakarta, Covid masuk Indonesia. Jack terpikir ayah, ibu dan adik satu-satunya, wanita. Jack memutuskan untuk pulang ke desa di Lamongan itu. Ia membawa serta istri dan anaknya.
Sumber: