Besek Wadas

Besek Wadas

“Tipis sekali. Hanya beberapa halaman. Mungkin hanya 4 halaman," jawabnya.

"Seberapa beda dengan laporan kronologi yang dibuat Kiai Imam Aziz dari Tim Gusdurian?"

“Saya belum membaca laporan Kiai Imam. Tapi ini hanya khusus yang mengalami peristiwa secara fisik," jawabnya.

"Anda juga warga NU?" tanya saya ke Ashadi.

"Iya. Saya nunut udut," kelakarnya. NU memang biasa dieplesetkan dengan nunut udut (ndompleng ikut merokok) lantaran banyak orang NU yang perokok berat.

Saya terus menelusuri jalan desa ini. Saya lihat banyak yang menjemur irisan bambu ukuran tipis-tipis di teras rumah. Itulah bahan baku untuk membuat besek –kotak terbuat dari anyaman bambu.

Hampir semua wanita di Desa Wadas jadi perajin besek. Bahan baku melimpah: bambu apus. Yang bisa diiris-iris sampai setipis kain. Ada mobil pikap yang mengumpulkan besek yang sudah siap jual: satu pasang besek Rp 1.700 (wadah dan tutupnya). Begitu murah harganya –membuat mereka bertahan menghadapi besek modern berbahan dari plastik.

Sampailah saya ke sebuah rumah di pinggir parit. Dinding depannya penuh gambar dan tulisan. Pun di dinding sampingnya. Saya lihat seperti ada tulisan yang berbentuk puisi. Maka saya baca tulisan itu, dengan gaya seorang penyair amatiran. Lihat videonya di IG saya.

Foto: disway.id

Setelah itu saya duduk di badug parit sebelah rumah. Ngobrol dengan warga di sekitar parit.

"Mana gunung batunya?"

"Itu, di belakang rumah puisi itu," jawab salah satu dari mereka. Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.

Saya disuguhi buah-buahan hasil pekarangan: rambutan dan kepel. Rambutannya manis. Kepelnya seperti kesemek. Waktu kecil saya tidak pernah mau makan kepel di halaman rumah kakek buyut di pesantren Takeran. Kemarin saya memakannya.

Mata saya pun tertatap pada bibit-bibit pohon buah. Aneka pohon. Dijejer di pinggir jalan. Banyak juga bibit durian.

"Itu bibit durian apa saja?"

"Ada bawor, ada yang tidak berbiji," jawab petani itu.

Sumber: