Butet Suci
Butet pun ia paksa ke Jakarta. Ryu sendiri akan terbang dari Tokyo ke Jakarta pada jam yang sama.
Dengan menahan rasa sakit Butet diberangkatkan ke Jakarta. Naik mobil. Anaknya yang mengemudikan vellfire itu. Butet duduk setengah berbaring di kursi tengah bersama Ruli, sang istri.
Dokter Ryu juga tiba di Jakarta tepat waktu.
Ryu memang dipercaya untuk memimpin Neuro Center di RS Mayapada Jakarta. Pun di masa pandemi, ia tidak sulit mondar-mandir Tokyo-Jakarta: ia punya paspor WHO.
Butet memang "residivis" untuk masalah kesehatan. Ia mengidap diabetes yang berat. Sudah pula merembet ke jantungnya. Ia sudah kena serangan jantung beberapa kali –termasuk ketika di belakang panggung, di sela-sela adegan pentas di Jakarta.
Tapi bukan diabetes itu yang menyebabkan infeksi di saraf tulang belakang. Hanya saja gula darahnya yang tinggi membuat infeksi itu sulit sembuh. Lalu sampai bernanah.
Dokter Ryu memang fans Butet sejak mahasiswa. Ketika lagi tugas perdana di Kaltim ia terbang ke Surabaya hanya untuk menonton Butet –Arif Afandi dan saya yang mendatangkan Butet kala itu untuk lakon Demit. Ryu sendiri yang menceritakan kenangan yang sudah begitu lama. Dulu, Ryu juga berkali-kali ke Jogja hanya untuk menonton Butet.
Nama lengkap dokter itu: Roslan Yusni Hasan. Disingkat Ryu. Ia cucu salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahab Hasbullah –tokoh yang melahirkan kata-kata minal aidin wal faizin. Sebagai cucu kiai besar pondok Tambak Beras, Jombang, ia fasih berbahasa Arab. Itulah bahasa pertamanya. Masa kecilnya hidup di Riyad, Arab Saudi. Ayahnya, Hasan Wahab, bertugas sebagai atase di kedutaan Riyad.
Lalu ia ikut pindah ke negara Arab lainnya: Iraq. Di Baghdad ia punya guru orang Parsi. Itu membuatnya fasih berbahasa Parsi. Lalu ia ikut orang tua ke Lebanon. Ryu pun mempelajari bahasa Hebrew yang lebih banyak dipakai di Israel. Tentu ia juga berbahasa Inggris. Dan Jepang. Sudah lebih 20 tahun ia tinggal di Jepang.
"Setelah Arab, Parsi, dan Hebrew barulah saya bisa bahasa Jawa," ujarnya.
Ryu bercerita, masa kecilnya sangat sulit: selalu dimarah-marahi lingkungannya. Apalagi ketika SMP di Malang, gurunya terus marah padanya. "Saya memang anak autis," katanya. "Saya dianggap tidak punya sopan santun dan tidak punya tenggang rasa. Kalau bicara apa adanya. Apa pun yang ingin saya katakan langsung saya ucapkan. Sering menyakitkan orang lain," kata Ryu.
"Kapan Anda berubah menjadi ''dewasa'' normal?" tanya saya.
"Setelah saya mempelajari neuro science. Saya jadi tahu cara kerja saraf di otak," katanya.
"Hah?"
"Tidak mengatakan semua yang ingin dikatakan, itu adalah yang melahirkan kerja sama," katanya.
Sumber: