Kakak Sofwati
NAMA-nama tempat ini terus terngiang di telinga. Sejak remaja: OKU, Komering, Martapura, Jagaraga, Palembang.
Yang sering mengucapkannya orang luar Jawa pertama yang saya kenal: Husein Roni. Ia pacar kakak saya: Sofwati. Kakak nomor dua di empat bersaudara kami.
Saya tidak tahu, tepatnya di kata yang mana Mas Husein lahir. Gak penting. Pokoknya ia dari Sumatera. Bukan Jawa.
Yang saya tahu: ia sedang kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) cabang Madiun. Itu setelah ia tamat Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Mas Husein, kalau bicara, intonasi suaranya paling beda: logat luar Jawa. Ia bisa berbahasa Jawa tapi pengucapannya kacau sekali. Itu saya ketahui ketika ia berkomunikasi dengan ayah saya yang hanya bisa lancar berbahasa Jawa.
Yang sering diomongkan orang-orang di desa saya: Mas Husein selalu membawa badik yang ia slempitkan di pinggang. Seperti selalu siap berkelahi. "Pak Husein itu takut apa ya kok selalu bawa pisau," begitu rerasan orang di desa saya. Mereka tidak tahu itulah kebiasaan orang suku Komering zaman itu.
Selama kuliah, Mas Husein aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Belakangan saya tahu ia menjabat ketua HMI Cabang Madiun. Rupanya di HMI itulah ia mengenal kakak saya –-yang juga aktivis HMI. Kakak saya itu, rasanya, Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Jawa Timur. Dari kelompok liberal. Kakak sering dipanggil sebagai ''agen Nurcholish Madjid di Jatim''. Artinya: dia ikut dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang diprakarsai Cak Nur itu.
Saya memanggil pacar kakak saya itu dengan Mas Husein. Mungkin ia sendiri geli dengan panggilan ''Mas'' itu. Tapi di desa kami tidak ada panggilan Kak atau Kakak. Mau dipanggil Pa' ia masih sangat muda. Baru kelak, di tahun 2022, saya tahu panggilan Mas itu harusnya
''Kiai''. Mas Husein harusnya Kiai Husein. Di Jawa, kiai adalah panggilan tokoh agama yang jadi imam di masjid, bukan kakak.
Mbak Sofwati jarang pulang. Dia kuliah di IKIP Malang. Entah jurusan apa. Saya hanya bertiga di rumah: bapak, saya, dan Udin –adik bungsu saya. Ibu sudah lama meninggal. Kakak sulung, mbak Khosiyatun, sudah lama pula merantau ke Samarinda.
Saya belum paham apa itu pembaharuan pemikiran Islam. Yang saya tahu kakak saya itu pintar sekali. Kalau debat tidak mau kalah. Ia seperti Srikandi. Tangkas sekali. Pemberani. Rok-nya paling pendek di antara orang di desa –kalau lagi pulang. Ketika masih SMA (Muallimat) seragam sekolahnya kebaya, jarit, dan kerudung –yang kerudungnyi lebih sering jatuh ke pundak.
Yang saya benci padanyi: dia tidak mau ber-boso kromo inggil pada ayah. Kromo biasa pun tidak mau. Kalau bicara dengan ayah dia selalu pakai bahasa ngoko –seperti bicara pada teman. Itu tercela di desa kami. Kakak tidak peduli.
Saya juga tidak suka ini: waktu saya pulang dari mondok sebulan di Kaliwungu, dekat Semarang, ia memeriksa kitab kuning yang saya bawa pulang. "Isi semua kitab ini bisa kamu pahami hanya dalam satu minggu, kalau bukunya berbahasa Indonesia," katanyi. Saya tidak pernah lupa kata-katanyi itu.
Tidak banyak lagi yang saya tahu tentang kakak saya itu. Begitu jarang bertemu. Saya asyik dengan masa kanak-kanak saya sendiri: sebagai penggembala kambing.
Sumber: