Money Heist Ngefek Perampok Cilandak

Money Heist Ngefek Perampok Cilandak

Namanya film fiksi, Money Heist dirancang apik. Menghasilkan seru, mencekam penonton. Di sesi I, perkenalan karakter para pemain. Dilanjut merampok Royal Mint of Spain.

Dengan perencanaan matang, eksekusi sesuai rencana, perampokan sukses. Tapi pelaku Rio ditangkap polisi, gegara menelepon Tokyo.

Di sesi berikutnya mereka merampok Bank of Spain. Merampok emas murni 90 ton. Perencanaan matang, ekskusi meleset. Karena ada pelaku yang naksir cewek yang dijadikan sandera.

Perampokan, sebagaimana suatu pekerjaan, membutuhkan fokus, taat pada perencanaan. Stick to the plan. Yang rumit.

Tapi, film tidak seru jika tidak ada penyimpangan perencanaan. Di situlah problem film dibangun. Sehingga terus menyeret daya pikat penonton, dari sesi ke sesi.

Professor, pemimpin perampok akhirnya ditangkap polisi cewek, Alicia. Itu menyebabkan anggota geng kocar-kacir. Tapi, kelanjutan cerita tetap seru. Sehingga film ini jadi trending topic di medsos selama tiga tahun terakhir ini.

Inikah yang mempengaruhi BS merampok? Jangan lupa, BS pegawai bank bagian HRD (Human Resources Development) bergaji Rp60 juta per bulan. Posisi kerjanya menunjukkan ia ahli, setidaknya paham, psikologi. Apakah begitu gampang ia terpengaruh?

Prof Gordon B. Dahl, guru besar ilmu ekonomi di The University of California, San Diego, AS, dalam wawancara dengan The New York Times, 7 Januari 2008, bertajuk "Violent films may cut real crime, study finds", menyatakan:

"Film bertema perampokan, tidak akan membuat orang mendadak jadi merampok. Kecuali menimbulkan kenakalan pada remaja."

Prof Dahl bersama Stefano Della Vigna, ekonom di University of California, Berkeley, AS, mengadakan riset untuk itu di Amerika.

Hasilnya, berkebalikan dari anggapan banyak orang selama ini. Film bertema kekerasan, justru mengurangi angka kekerasan secara realitas.

Disebutkan, sejak awal milenium (tahun 2000) pemutaran film kekerasan di Amerika Serikat telah mengurangi serangan rata-rata. sekitar 1.000 kasus per akhir pekan, atau 52.000 kasus per tahun. Dari tahun 2000 sampai 2008.

Prof Dahl: "Pada hari Senin dan Selasa, setelah pemutaran film kekerasan di akhir pekan di bioskop, tidak ada lonjakan kejahatan kekerasan yang muncul untuk mengimbangi jam-jam damai di bioskop."

Kesimpulan Dahl dan Vigna, bertolak-belakang dengan penelitian psikolog, yang umumnya menyatakan, kekerasan dalam film bakal memicu tindak kekerasan warga di dunia nyata.

Tapi, riset Dahl dan Vigna hanya berhenti sampai di situ. Bahwa film bertema kekerasan justru membuat jumlah kasus tindak kerasan di masyarakat menurun. Tidak disebutkan, mengapa bisa begitu?

Sumber: