Podcast LGBT Corbuzier, Demi Viewers?
Materi itu informatif. Memberitahu publik, bahwa begitulah gay. Ada orang yang dilahirkan dalam bentuk begitu. Terus, bagaimana sikap masyarakat menerima kondisi orang yang begitu?
Tapi masyarakat Indonesia bukan hanya agamis, melainkan sangat agamis. Sehingga podcast ini jadi kontra-produktif. Atau dikecam banyak orang.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis mengkritik podcast tersebut. Kritik diunggah di akun Twitter, Senin, 9 Mei 2022.
KH Cholil: "Saya masih menganggap LGBT (Lesbian Gay Biseks dan Transgender) itu ketidaknormalan yang harus diobati. Bukan dibiarkan dengan dalih toleransi."
Dilanjut: "Yang jelas pasangan itu (Ragil dan Frederick) sudah masuk podcast-nya (Dedy Corbuzier). Saya berharap yang punya podcast itu paham kalau Islam melarang dan mengutuk LGBT. LGBT itu harus diamputasi bukan ditoleransi."
KH Cholil menyatakan, menyayangkan Dedy seolah memberi panggung kepada LGBT, yang mestinya diamputasi.
Tak pelak, warganet ramai mengutuk Dedy. Bahkan, menyoal agama Dedy. Seperti diketahui, Dedy adalah mualaf.
Salah satu warganet di twitter menulis begini: "Bodo amat Ragil dan "lakinya" diundang podcast Deddy.
Dilanjut: "Itu memperjelas dia mualaf bukannya menjadi lebih lebih baik tapi malah sebaliknya. Dedy keliru memilih guru agama."
Komentar pedas ini pun direaksi warganet lain. Sebagian dari warganet merasa penilaian salah atau benar, tak perlu diutarakan. "Intinya jadi manusia jangan merasa ibadah kita paling bener, ajaran agama kita yang paling baik," tulis seorang warganet.
Dilanjut: "Jangan ngeliat org yang 'menyimpang dikit', lgsung dicap pendosa. Emgnya buku catatan Rokib Atit, kita yang pegang? Di mana salahnya? Terus yang bener kita harus menjaga jarak gitu ya? dari orang kayak Ragil? Sepertinya anda yg salah guru."
Ribuan komen menanggapi podcast Dedy tersebut. Kebanyakan kontra. Ada juga yang pro. Persis seperti gambaran dua komentator di atas. Terjadi perpecahan pendapat di masyarakat.
Sesungguhnya, sudah satu dekade ini terjadi perpecahan pendapat masyarakat. Terhadap sesuatu yang dipublikasi, dan terkait agama. Atau materi yang bisa dimasukkan dalam ranah agama. Sehingga menimbulkan konflik pendapat. Di online, bahkan bisa jadi perkelahian fisik di offline.
Kondisi ini tidak sehat bagi kita, sebangsa. Karena dengan berlarutnya konflik pendapat ini, membuat negara kita ketinggalan dibanding negara yang tidak berkonflik pendapat terkait SARA. Kita kalah maju, kalah sejahtera.
Dan, mayoritas kita tampaknya tak peduli dengan kekalahan ini. Tidak maju dan tidak sejahtera, dianggap tidak apa-apa. Terbukti, konflik pendapat terus berlarut. Malah intensitasnya cenderung naik.
Sumber: