Kasus Iqlima Kim dan Bukti Pelecehan Seks
Dampak psikis pelecehan seksual (jika benar terbukti) memang unik dan beragam. Disebut PTSD (Posttraumatic Stress Disorder).
Dikutip dari kumpulan tulisan pakar psikiatri, Brunello N, Davidson JRT, Deahl M, Kessler RC, Mendlewicz J, Racagni G dalam karya bertajuk: "Posttraumatic Stress Disorder: Diagnosis and Epidemiology, Comorbidity and Social Consequences, Biology and Treatment. Neuropsychobiology (2001) menyatakan:
PTSD akibat pelecehan atau kekersan seksual pria terhadap wanita. Sedangkan, kekerasan seksual didefinisikan begini:
"Segala bentuk kontak seksual, bisa berupa pelecehan fisik dan psikis, juga ucapan dan ajakan hubungan seksual, tanpa persetujuan pihak wanita. Yang melanggar rasa otonomi, kontrol, dan penguasaan seorang wanita atas tubuh mereka."
Dilanjut: "Efek pelecehan seksual dapat dimanifestasikan secara biologis, psikologis, dan sosiologis."
Biologis bisa berupa hamil, sakit kepala, mual-mual, badan terasa sakit, meskipun ternyata secara klinis tidak sakit.
Psikologis, merasa malu, terhina, sehingga sulit tidur. Bahkan bisa halusinasi dan ketakutan tanpa sebab. Intinya, traumatik kejiwaan.
Sosiologis, tidak mau bergaul, karena malu. Di negara-negara berkembang, korban justru dicemooh keluarga dan masyarakat. Menambah beban korban.
Solusinya, perawatan. Atau terapi kejiwaan. Didukung oleh keluarga dan masyarakat. Tapi, masyarakat negara-negara berkembang, korban malah disalahkan. Atau dicurigai, mau menerima pelecehan seks, ketika hal itu sedang terjadi.
Dr Aphrodite T. Matsakis, dalam bukunya "I Can't Get Over It: A Handbook for Trauma Survivors" (New Harbinger Publications, 1996) menyebutkan:
Pemulihan PTSD terkait penyerangan atau pelecehan seksual, tidak hanya diukur dengan menghilangkan gejala. Melainkan lebih pada pemberdayaan korban.
"Kesembuhan dari trauma, tidak berarti bahwa survivor akan melupakan pengalamannya atau tidak pernah lagi mengalami gejala apa pun. Tidak hanya begitu."
Sebaliknya, pemulihan yang sukses bersifat subjektif dan diukur dengan:
Apakah korban meningkatkan keterlibatannya di masyarakat? Apakah punya keterampilan untuk mendapatkan kembali kendali atas hidupnya? Apakah dia memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan, rasa malu dan kognisi negatif lainnya?
Semua pertanyaan itu terukur dalam terapi psikiatri, yang sudah baku.
Sumber: