Kasus Iqlima Kim dan Bukti Pelecehan Seks
Di Indonesia, pelecehan seksual masuk kejahatan kesusilaan. Diatur dalam Pasal 294 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kasus Iqlima, yang waktu itu statusnya pegawai Hotman, diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) bahwa pekerja berhak atas perlindungan moral dan kesusilaan.
Di Pasal 294 ayat (2) KUHP, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya, diancam dengan pidana penjara selama 7 tahun.
Persoalannya, pelecehan seks sulit dibuktikan. Misal, pria mencolek bokong wanita yang bukan isterinya, pasti tidak dipamerkan di depan orang lain. Pasti di tempat tersembunyi. Atau tidak ada yang melihat, kecuali pelaku dan korban.
Sedangkan, hukum adalah masalah bukti. Jika dugaan tindak pidana tidak bisa dibuktikan, berarti tidak ada tindak pidana.
Itu juga, Hotman sempat komentar ke wartawan: "Dia bilang pelecehan di mobil, apa buktinya?"
Jadi, secara hukum kasus ini tergolong alot, keras seperti batu, karena sulit dibuktikan. Antara pengacara Iqlima dengan Hotman, baru melancarkan langkah-langkah pembuka. Belum ada yang menyerang.
Seumpama, target Iqlima hanya untuk publikasi, maka dia sudah sukses. Publikasi bukan berarti Pansos (panjat sosial alias mencari panggung). Bukan. Sebab, kalau itu Pansos, dia sudah menanggung malu.
Melainkan, publikasi Iqlima sekadar pelampiasan sakit hati terhadap Hotman. Itu pun seumpama, benar terjadi pelecehan, yang sulit dibuktikan secara hukum.
Buktinya, kuasa hukum Iqlima bukan lapor polisi, malah ke Kementerian PPPA. (*)
Sumber: