Mahfud vs Didu Soal “Au ah elap”

Mahfud vs Didu Soal “Au ah elap”

"Karena MK sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan penunjukan pj. Sebaiknya supaya tidak mengalami problem seperti hari ini, pemerintah sebaiknya membuat turunan dari pertimbangan MK. Dalam bentuk peraturan tertulis secara formal agar proses penunjukan ini bisa dilakukan secara transparan prinsip-prinsip demokrasinya bisa dikedepankan."

Legislator ini menyebut MK, lembaga yang pernah dipimpinan Prof Mahfud. Sedangkan, Prof Mahfud sendiri sudah menegaskan, tidak ada masalah anggota TNI aktif ditunjuk jadi pj. kepala daerah. Asalkan, ia tidak bertugas di induknya (Mabes TNI, atau jajaran. Atau Mabes Polri dan jajaran).

Kalau legislator begitu, apalagi Ormas. Yang juga menyoal itu.

Ormas menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri atas beberapa ormas, senada, menyoal itu. Dalam rilis yang disebarkan Selasa (24/5) dinyatakan begini:

"Pada Putusan MK No 67/PUU- XIX/2021, MK mengingatkan pentingnya klausul 'secara demokratis' tersebut dijalankan. Dalam implementasinya, MK juga memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk transparansi."

Balik ke MK, lagi. Atau, mungkin orang-orang yang bersuara ke pers itu tidak membaca teliti, masalah seperti yang dijelaskan Mahfud. Jika benar begitu, mereka asal omong saja. Tanpa tahu betul permasalahan.

Kendati, tren politik ke arah pelibatan TNI/Polri (aktif) agar jadi kepala daerah, seperti sengaja didorong.

Bukti, muncul juga wacana agar Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhammad Fadil Imran menjadi Pj. Gubernur DKI Jakarta menggantikan Anies Baswedan yang akan pensiun, Oktober 2022.

Dorongan ini awalnya dilontarkan Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Taufik. Lantas diikuti Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya, juga mengatakan begitu.

Tapi, tokoh yang didorong tidak bersedia. Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil kepada pers, Selasa (24/5) mengatakan:

"Saya tidak berminat, catat itu. Masih banyak PR yang harus saya selesaikan untuk menjaga Jakarta."

Dilanjut: "Dan saya masih ingin membantu Kapolri untuk mewujudkan Polri yang Presisi, Polri yang lebih baik. Terima kasih."

Anggota TNI/Polri aktif, didorong jadi kepala daerah. Sebagaimana zaman Orde Baru, semua kepala daerah setingkat gubernur, walikota/bupati, bahkan sampai camat dan kades, anggota ABRI aktif. Disebut Dwi Fungsi ABRI.

Dengan begitu, di zaman itu, stabilitas keamanan terjamin. Kepala daerah yang ABRI, pastinya level perwira tinggi, sudah terdidik disiplin dan tegas. Negara aman terkendali.

Kondisi itu berubah sejak era Reformasi 1998. Bersamaan jatuhnya Orde Baru pimpinan Soeharto. Membuat Dwi Fungsi ABRI dihapus. Dan, semua pihak sudah sepakat. Pihak ABRI legowo.

Sumber: