Sama Sulit
Begitu seriusnya jadi aktivis, kuliah kak Alwy sendiri ''telantar''. Sudah delapan tahun belum juga lulus. Tinggal skripsi sebenarnya –tapi tidak kunjung selesai. Kelak, ia baru jadi sarjana setelah pindah lagi ke Samarinda. Ia dipaksa oleh rektor Universitas Mulawarman Samarinda: Sang legendaris Sambas Wirahadikusumah.
Kak Alwy memang meninggalkan Banjarmasin. Suatu hari kak Alwy bertemu tokoh Banjarmasin yang lagi menjabat gubernur baru Kaltim: Brigjen A Wahab Syahrani. "Ikam bulik Samarinda lah. Bantu aku," ujar sang gubernur.
Maka Kak Alwy pulang ke Samarinda. Tanpa ijazah sarjana. Gubernur ingin Alwy mendirikan koran baru di Samarinda. Yang seirama dengan misi Orde Baru.
Sebenarnya sudah banyak koran mingguan di Samarinda. Tapi semuanya milik tokoh nasionalis yang juga Sukarnois.
Maka didirikanlah harian Mimbar Masyarakat –mirip Mimbar Mahasiswa yang ia dirikan di Banjarmasin.
Saya baru tahu sekarang ini cerita seperti itu. Nasib Mimbar Mahasiswa sendiri, sepeninggal kak Alwy, kurang baik. Pecah. Bertengkar. Antara Djok Mentaya dan Anang Adenansi.
Rupanya diperlukan satu orang Bugis untuk menengahi dua orang Banjar yang hebat-hebat.
Nono Makarim turun tangan. Alwy dipanggil ke Banjarmasin. Akhirnya diambil keputusan tegas. Ditenderkan secara kekeluargaan: siapa di antara dua tokoh itu yang mau menjadi pemilik Mimbar Mahasiswa. Tentu dengan membelinya. Uang hasil penjualan dibagi rata.
Djok Mentayalah yang punya uang. Djok yang membelinya. Yang kelak nama Mimbar Mahasiswa itu ia ubah menjadi Banjarmasin Post.
"Dua orang itu memang berbeda aliran," ujar Kak Alwy mengenang. "Djok itu berorientasi bisnis. Anang itu idealis," tambahnya.
Banjarmasin Post berkembang menjadi koran terbesar di Kalsel. Anang Adenansi belakangan juga mendirikan koran sendiri: Media Masyarakat. Tidak pernah bisa mengalahkan B-Post.
Anang sendiri tidak terlalu fokus di media. Ia jadi politisi. Jadi tokoh Golkar. Jadi anggota DPR.
Djok, yang lahir di Mentaya, fokus di bisnis.
Zaman itu banyak tokoh mahasiswa mendirikan koran di daerah masing-masing. Rahman Tolleng bikin Mimbar Demokrasi di Bandung. Agil Haji Ali mendirikan Mingguan Mahasiswa di Surabaya –kelak menjadi harian Memorandum dan diserahkan ke saya. Tokoh mahasiswa Makassar, Alwy Hamu mendirikan harian Fajar –kelak juga diserahkan ke saya.
Hubungan istimewa Djok Mentaya dengan kak Alwy itulah yang membuat saya tidak berkutik. Biar pun saya berhasil mendirikan koran baru di banyak kota di Indonesia saya tidak bisa masuk Banjarmasin. "Dahlan, ikam jangan bikin koran di Banjarmasin lah," pinta Djok pada saya. Ia tidak ingin B-Post punya pesaing kelas berat.
Saya baru berani mendirikan koran di Banjarmasin setelah Djok sendiri menjual B-Post ke Kompas. Telat. Gara-gara tenggang rasa dengan teman itu saya telat masuk Kalsel. Saya pun tidak pernah berhasil mengalahkan B-Post.
Kisah yang sama terjadi di Denpasar, Bali, dan di Bandung. Saya tidak bikin koran di dua kota itu. Saya diwanti-wanti teman sekelas saya yang jadi wartawan di Bali Post: jangan bikin koran di Bali. Saya juga diminta pak Atang Ruswita, pendiri Pikiran Rakyat yang saya hormati, agar jangan masuk Bandung.
Itulah sebabnya saya juga telat bikin koran di Bali dan Bandung. Yakni setelah teman sekelas saya itu tidak bekerja lagi di Bali Post. Juga setelah Pak Atang Ruswita meninggal dunia.
Kini persaingan seperti itu tidak diperlukan lagi. Yang menyaingi dan yang disaingi sudah sama-sama sulit. (*)
Sumber: