Bisik-bisik Keras

Bisik-bisik Keras

Begitu banyak pertanyaan yang tidak terjawab dari konferensi pers itu. Begitu banyak kejanggalan di alur ceritanya.

Tapi setidaknya wartawan sudah mulai bisa menulis. Wartawan juga mulai punya pijakan untuk melakukan reportase. CNN Indonesia dan Detik mengirim wartawan ke Duren 3. Yakni ke rumah Irjen Pol Ferdy Sambo. Mereka wawancara dengan orang-orang di situ.

Lalu datanglah tiga orang petugas. Mereka minta HP dua wartawan itu. Dibuka. Isinya dihapus. Yakni yang berkaitan dengan wawancara soal tembak-menembak.

Saya pun bertanya kepada bos pemilik dua media itu. Saya ingin mewawancarai wartawan yang langsung terjun ke lapangan. "Namanya jangan dibuka dulu. Kasihan mereka," kata bos di dua perusahaan media grup CT Corp. Saya memakluminya.

Sang bos sudah ke Mabes Polri: mengadukan perlakuan pada dua wartawannya itu. Polri menanggapinya dengan baik. Akan diselesaikan.

Walhasil upaya merahasiakan peristiwa besar ini sebenarnya berhasil. Awalnya. Tidak ada media yang bisa mengklaim ''kamilah yang pertama mengungkap''.

Saya ingat di zaman Orde Baru. Saat itu sulit sekali untuk bisa menjadi pertamax seperti itu. Wartawan sebenarnya selalu tahu secara dini peristiwa besar. Tapi takut menuliskannya. Tunggu keterangan resmi saja. Kadang ada. Kadang tidak.

Wartawan yang lebih dulu tahu biasanya hanya mampu menceritakannya kepada sesama wartawan, setelah mereka balik ke kantor. Maka kantin di kantor media itu asyik sekali. Wartawan yang pulang dari ''pos'' masing-masing bercerita peristiwa apa saja yang ia dapat. Sebatas diceritakan. Tidak bisa ditulis.

Yang dimaksud ''pos'' adalah tempat tugas si wartawan. Ada wartawan yang ''ngepos'' di istana, di Mabes Polri, di Polda, di Polres, di pelabuhan, di kementerian keuangan dan seterusnya. Di situlah mereka ''berkantor''. Setiap hari. Mereka tahu apa pun yang ada di ''pos'' masing-masing. Termasuk sisi gosip-gosipnya. Bahkan media seperti PosKota sampai punya wartawan yang ''ngepos'' di Polsek-Polsek.

Karena itu media perlu punya wartawan banyak sekali. Mahal.

Media online tidak mau punya banyak wartawan. Penghasilan online tidak sebesar penghasilan koran di masa jaya.

Di zaman sekarang, ternyata cara merahasiakan peristiwa sensitif masih sama. Termasuk soal tembak-menembak polisi itu. Sampai tiga hari kemudian pun belum ada wartawan yang tahu.

Medsos juga masih bungkam.

Hebat sekali. Kalau itu di zaman Orde Baru tidak ada yang heran. Ini terjadi di zaman medsos.

"Mungkin karena kejadian itu di satu rumah yang berada di kompleks perumahan yang tertutup," kilah seorang wartawan.

Sumber: