Rektor Kena OTT Apakah Jadi Racun Korupsi?
Tempat Lahir: Teheran, Iran. Tinggi badan 5,10 kaki (177.8 sentimeter). Tapi sejak muda hidup di Amerika. Jadi warga negara Amerika. Biasa dipanggil Fred Monem. Sebab, lidah orang Amerika 'kepleset' ketika mengucap nama Farhad.
Monem adalah Administrator Layanan Makanan untuk Departemen Pemasyarakatan Negara, Penjara Oregon (negara bagian Amerika) dari 1999 hingga 2007.
Tugasnya mengatur kontrak dengan vendor untuk membeli makanan bagi 14.000 narapidana di 14 penjara Negara Bagian Oregon. Itu makanan (ransum) untuk narapidana sehari-hari. Rutin makan tiga kali sehari.
Gaji Monem USD 60.000 (sekitar Rp 900 juta) per tahun (pada 2007). Tinggal bersama keluarganya di Salem, Oregon.
Ternyata Monem terima suap rutin dari berbagai perusahaan katering di sana. Dalam kurun sekitar delapan tahun.
Para vendor yang menyuap Monem, mengirim makanan kelas jelek. Tidak sesuai harga. Ada yang berbahan makanan murah berbahaya buat kesehatan. Bahan buangan pabrik makanan. Sampai makanan basi.
Barangkali, pikir Monem: "Gakpapa. Toh, itu buat orang buangan juga."
Pada pertengahan 2007 kecurangan Monem ketahuan. Negara dirugikan sekitar USD 2 juta (sekitar Rp 30 miliar). Ketika aparat masih mengkalkulasi kerugian negara (rumit, karena harus detil) ternyata Monem sudah punya feeling koruptor yang tajam.
Sebelum Monem ditangkap FBI, ia bersama keluarga sudah kabur ke Iran. Menyelinap di sana. Tidak bisa ditangkap aparat Amerika.
Kasus ini terkenal di Amerika, khususnya di Oregon. Terkenal dengan julukan: 'Monem si tukang racun". Orang Amerika diracuni orang Iran.
Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja dalam bukunya "Sosiologi Korupsi: Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya" (2019) menyebutkan:
Kata korupsi dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio artinya: Beragam, yakni, tindakan merusak, atau menghancurkan, atau racun.
Korupsi masuk sekolah atau universitas, adalah racun buat generasi muda penerus bangsa. Racun itu tertanam dalam jiwa, menyempil di alam bawah sadar mereka.
Sehingga, ketika pelajar mahasiswa itu kelak jadi 'orang', mereka tidak akan melupakan peristiwa "suap masuk sekolah". Atau, muncul secara otomatis. Sebagai bentuk reflek koruptif. Atau bisa juga sebagai 'balas dendam koruptif'.
"Kalau dulu gue nyogok segini, sekarang gue harus dapat sogokan segitu, termasuk bunganya."
Kita, boleh saja selalu mengumandangkan slogan anti-korupsi. Teriak sekencangnya. Boleh. Tapi, racun itu tidak pernah hilang. Sampai orangnya mati. (*)
Sumber: